Anak yang Lahir Setelah 2020 Akan Hadapi Risiko Panas Ekstrem Sepanjang Hidupnya

Jakarta, sustainlifetoday.com – Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa anak-anak yang lahir setelah tahun 2020 akan menghadapi paparan gelombang panas ekstrem dalam skala yang belum pernah dialami oleh generasi sebelumnya. Bahkan dalam skenario perubahan iklim paling konservatif, fenomena ini diperkirakan akan terus berlangsung selama 75 tahun ke depan.
Studi ini dipublikasikan dalam jurnal Nature pada 7 Mei 2025. Temuannya menyoroti beban besar yang harus ditanggung oleh generasi muda akibat pemanasan global yang terus meningkat.
Para peneliti memanfaatkan model iklim dan data demografi dari berbagai negara untuk menghitung paparan terhadap cuaca ekstrem seperti gelombang panas, banjir, dan kebakaran hutan.
Dalam skenario optimis di mana pemanasan global berhasil dibatasi hingga 1,5 derajat Celsius dibandingkan masa pra-industri, sekitar 50 persen anak-anak yang lahir pada tahun 2020 atau sekitar 58 juta orang tetap akan mengalami gelombang panas yang tergolong ekstrem. Dalam skenario lebih buruk, di mana suhu global meningkat hingga 3,5 derajat Celsius, angka ini melonjak menjadi 92 persen atau sekitar 111 juta anak.
Sebagai perbandingan, hanya sekitar 16 persen dari mereka yang lahir pada tahun 1960 yang diperkirakan mengalami paparan panas ekstrem serupa, apa pun skenario iklim yang digunakan. Perbedaan ini menunjukkan adanya ketimpangan iklim yang mencolok antara generasi tua dan muda.
“Banyak orang seusia saya sudah memiliki anak kecil. Proyeksi ini sangat mengkhawatirkan,” ujar Wim Thiery, ilmuwan iklim dari Vrije Universiteit di Brussels yang juga salah satu penulis utama studi tersebut.
Thiery menyebut bahwa hasil penelitian ini memberikan gambaran nyata dampak perubahan iklim terhadap anak-anak saat ini.
Para peneliti mendefinisikan “paparan panas yang belum pernah terjadi sebelumnya” sebagai ambang batas cuaca ekstrem yang dalam kondisi tanpa perubahan iklim hanya memiliki peluang 1 banding 10.000 untuk terjadi sepanjang hidup seseorang. Artinya, jika ambang batas ini terlampaui, hampir pasti penyebabnya adalah krisis iklim yang sedang berlangsung.
Sebagai contoh, di wilayah Brussels, ambang batas tersebut berarti mengalami enam gelombang panas ekstrem selama masa hidup seseorang. Di masa lalu, kejadian seperti ini hanya terjadi rata-rata sekali dalam satu abad.
Baca Juga:
- AS Pecat Massal Ilmuwan Iklim, Dunia Cemas Hadapi Dampaknya
- Kritik Harga Kendaraan Rendah Emisi, Bos Astra: Hanya Untuk Menengah Atas
- Paus Leo XIV Terpilih, Bagaimana Pandangannya Soal Perempuan di Gereja?
Dengan menggabungkan data iklim dan populasi, para peneliti menghitung proporsi generasi yang lahir antara 1960 hingga 2020 yang akan melewati ambang batas paparan ekstrem. Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak masa kini berada pada risiko jauh lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya.
Penelitian ini juga menyoroti ketimpangan dampak yang dirasakan. Anak-anak dari kelompok miskin dan masyarakat rentan secara ekonomi memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami paparan ekstrem tersebut. Jadi, selain ketimpangan antargenerasi, terdapat pula ketimpangan sosial dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
Caroline Hickman, psikoterapis dari University of Bath yang meneliti kecemasan anak-anak terkait perubahan iklim, menyebut bahwa banyak orang dewasa cenderung meremehkan risiko ini karena mereka tidak akan mengalaminya secara langsung. Menurutnya, studi ini harus menjadi pengingat bahwa orang dewasa memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi generasi muda.
“Gagal mengambil tindakan terhadap perubahan iklim sama saja dengan gagal melindungi masa depan anak-anak,” tegas Hickman.
Studi ini diharapkan dapat mendorong pemerintah dan masyarakat internasional untuk segera mengambil langkah konkret dalam membatasi pemanasan global. Semakin cepat tindakan diambil, semakin besar peluang untuk melindungi anak-anak dan generasi mendatang dari dampak terburuk krisis iklim.