AI Berdampak Negatif untuk Lingkungan, Ini Faktanya

Jakarta, sustainlifetoday.com – Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kini tak hanya digunakan untuk mendukung kehidupan manusia secara praktis, tetapi juga menjadi alat penting dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Dalam laporan terbaru yang dirilis oleh United Nations Environment Programme (UNEP) pada April 2025, dijelaskan bahwa AI telah dimanfaatkan untuk memetakan lokasi pengerukan pasir ilegal, mendeteksi emisi metana dari gas rumah kaca, serta memperkuat pengambilan keputusan dalam proyek-proyek konservasi.
Namun, seiring dengan semakin meluasnya penerapan AI, muncul kekhawatiran terkait dampak ekologis dari teknologi ini. AI ternyata menyimpan potensi ancaman terhadap lingkungan yang sering kali luput dari perhatian publik. Salah satu masalah utamanya adalah tingginya konsumsi energi yang diperlukan untuk mengoperasikan teknologi ini.
Pusat data (data centers) yang menjadi tulang punggung AI memerlukan pasokan listrik dalam jumlah besar dan sebagian besar masih bergantung pada energi berbasis fosil. UNEP mencatat bahwa pusat data menyumbang hampir 2% dari total konsumsi listrik global, sebuah angka yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Baca Juga:
- Tikus Serbu Kawasan Inti IKN, Gangguan Ekosistem atau Masalah Pengelolaan?
- Trump Kerek Tarif Impor China Jadi 104 Persen, Apa Efeknya bagi Agenda Ekonomi Hijau Global?
- Ilmuwan Targetkan Hidupkan Kembali Mammoth dan Harimau Tasmania
Tak hanya listrik, pusat data juga membutuhkan air dalam jumlah besar untuk menjaga suhu operasional tetap stabil. Proses pendinginan ini, yang biasanya dilakukan melalui sistem berbasis air, telah memperbesar tekanan terhadap sumber daya air bersih, khususnya di daerah-daerah yang sudah mengalami kekeringan atau krisis air.
Menurut laporan dari MIT News yang terbit awal tahun ini, pusat data generatif AI diperkirakan bisa mengonsumsi jutaan liter air setiap tahunnya, hanya untuk menjaga server tetap dingin dan optimal.
Selain itu, perangkat keras yang digunakan untuk membangun dan menjalankan AI sangat bergantung pada mineral langka seperti kobalt, litium, dan tanah jarang lainnya.
Mineral-mineral ini banyak ditambang di negara-negara berkembang dengan praktik yang sering kali tidak memperhatikan prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial. Aktivitas tambang semacam ini telah menyebabkan degradasi lingkungan yang parah dan menciptakan konflik sosial di komunitas lokal.
Melihat kompleksitas dampak ekologis AI, berbagai pakar dan lembaga internasional mulai mendorong pengembangan teknologi yang lebih hijau. Perusahaan-perusahaan teknologi didorong untuk berinvestasi dalam energi terbarukan, memperbaiki efisiensi algoritma agar lebih hemat daya, serta meningkatkan transparansi dalam pelaporan jejak karbon. Di sisi lain, pemerintah dan pembuat kebijakan diharapkan lebih aktif merancang regulasi yang mendukung adopsi teknologi berkelanjutan.
Langkah Menuju AI yang Ramah Lingkungan
Untuk mengurangi dampak negatif AI terhadap lingkungan, diperlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak. Perusahaan teknologi dapat berinvestasi dalam energi terbarukan untuk mengoperasikan pusat data mereka dan meningkatkan efisiensi algoritma AI guna mengurangi konsumsi energi.
Selain itu, transparansi dalam pelaporan jejak karbon dan penggunaan sumber daya oleh perusahaan teknologi menjadi krusial. Kebijakan pemerintah yang mendorong praktik teknologi berkelanjutan juga diperlukan untuk memastikan bahwa perkembangan AI tidak merugikan lingkungan. Dengan pendekatan yang tepat, AI dapat berkembang sejalan dengan prinsip keberlanjutan dan konservasi lingkungan.