Viral Grup Fantasi Sedarah di Facebook, Bukti Krisis Etika di Ruang Digital

Jakarta, sustainlifetoday.com — Fenomena grup Facebook bertema hubungan sedarah kembali menjadi sorotan publik setelah sebuah grup bernama “Fantasi Sedarah” viral di media sosial. Grup ini sempat memiliki lebih dari 32.000 anggota dan menjadi wadah bagi pengguna yang membagikan cerita dan fantasi seksual menyimpang yang melibatkan anggota keluarga. Narasi yang dibagikan dalam grup ini mengandung unsur eksplisit dan meresahkan, bahkan ada yang mengunggah konten berpotensi eksploitasi anak.
Kemunculan grup tersebut memicu kecaman luas. Banyak pengguna media sosial melaporkan isi grup ke pihak Meta dan mendesak pemerintah untuk turun tangan. Tekanan publik pun mendorong penghapusan grup itu, namun pertanyaannya: bagaimana grup semacam ini bisa tumbuh dan bertahan di platform sebesar Facebook?
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni meminta Kepolisian dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk segera menindaklanjuti kasus ini. Ia menilai konten semacam ini tidak hanya menjijikkan, tetapi juga berbahaya secara sosial dan psikologis, terutama bagi anak-anak yang rentan menjadi korban atau terpapar narasi menyimpang tersebut.
“Ini sangat menjijikan. Karenanya saya minta Polisi dan Komdigi telusuri dan tindak para pengelola maupun anggota grup kotor tersebut,” kata Sahroni, dilansir pada Jumat (16/5).
Fenomena ini menunjukkan bahwa ruang digital masih menjadi wilayah yang belum sepenuhnya aman. Kebebasan berekspresi yang ditawarkan media sosial kerap disalahgunakan oleh segelintir pihak untuk menyebarkan konten ekstrem dan tidak bermoral. Dalam banyak kasus, narasi menyimpang dibungkus sebagai “fantasi pribadi” agar lolos dari moderasi otomatis, padahal dampaknya nyata dan serius.
Baca Juga:
- Pendidikan Perubahan Iklim Segera Masuk Kurikulum Nasional
- Penelitian: Bumi Akan Kehabisan Oksigen dalam Satu Miliar Tahun!
- Kawasan Lindung Jawa Barat Menyusut, Berpotensi Perparah Banjir Jabodetabek

Meta sebagai perusahaan induk Facebook dikritik karena dianggap lalai dalam melakukan moderasi konten. Meski perusahaan teknologi raksasa itu mengklaim menggunakan kecerdasan buatan untuk menyaring konten berbahaya, grup semacam ini tetap bisa bertahan dan berkembang sebelum akhirnya viral dan diblokir. Ini menandakan perlunya pendekatan yang lebih kuat dan kontekstual dalam mengelola ruang digital, khususnya di wilayah dengan norma dan hukum yang ketat seperti Indonesia.
Kasus ini menjadi alarm bagi semua pihak bahwa pengawasan terhadap ruang digital harus ditingkatkan. Perlindungan terhadap anak dan masyarakat dari konten seksual menyimpang tidak bisa dibebankan hanya pada algoritma. Diperlukan kebijakan yang lebih tegas, sistem pelaporan yang efektif, serta edukasi digital yang menjangkau masyarakat luas.
Literasi digital menjadi aspek penting dalam konteks ini. Anak-anak dan remaja sebagai pengguna aktif media sosial harus dibekali kemampuan untuk memilah konten, memahami risiko, dan berani melapor jika menemukan hal yang mencurigakan. Sementara orang tua dan pendidik perlu terlibat lebih aktif dalam mengawasi dan membimbing aktivitas digital anak. Pemerintah, platform digital, dan masyarakat sipil harus bekerja sama memastikan dunia maya menjadi ruang yang aman, sehat, dan mendidik.