Papua di Ambang Krisis Ekologi Akibat Proyek Food Estate Nasional

JAKARTA, sustainlifetoday.com – Proyek ketahanan pangan nasional yang tengah dikembangkan Pemerintah Indonesia di Papua menjadi sorotan dunia internasional karena dinilai berpotensi menjadi proyek deforestasi terbesar di dunia.
Organisasi lingkungan internasional Mighty Earth dan The TreeMap dalam laporannya mencatat peningkatan aktivitas penebangan hutan di Indonesia timur sejak akhir 2023. Penebangan tersebut meliputi hutan lahan kering, rawa alami primer dan sekunder, hutan bakau, serta sabana dan semak belukar.
“Biasanya, penggundulan hutan merupakan hasil dari pemerintah yang tidak menjalankan tugasnya. Namun dalam kasus ini, sebenarnya negara mengatakan bahwa ‘kami ingin menebang sebagian hutan terakhir yang tersisa’,” ujar CEO Mighty Earth, Glenn Hurowitz, dikutip dari AFP, Rabu (23/4).
Proyek strategis nasional ini mencakup pengembangan pertanian, pabrik gula, dan bioetanol di wilayah Merauke. Pemerintah menyatakan bahwa lahan yang digarap merupakan lahan terdegradasi, namun analisis Mighty Earth menunjukkan bahwa wilayah tersebut mencakup lahan gambut dan ekosistem penting lainnya.
“Tragedi dalam proyek ini, adalah bahwa Indonesia telah mencapai banyak kemajuan dalam memutus hubungan antara ekspansi pertanian dan deforestasi. Sayangnya, proyek tunggal ini mengancam akan merusak semua kemajuan,” lanjut Hurowitz.
Baca Juga:
- PGN dan Bukit Asam Kembangkan Gas Sintetik dari Batu Bara
- Ini Aktivitas Seru untuk Menumbuhkan Kesadaran Lingkungan pada Anak
- PT Timah Bangun PLTS di Lahan Bekas Tambang untuk Dukung Energi Hijau
Data Kementerian Kehutanan menunjukkan angka deforestasi netto Indonesia mencapai 175.400 hektare pada 2024. Sementara itu, Statista mencatat Indonesia sebagai negara keempat dengan kehilangan hutan tropis primer terbanyak di dunia pada 2022.
Menurut laporan Global Forest Watch, Indonesia telah kehilangan lebih dari 74 juta hektare hutan sejak 1950. Proyek pangan dan energi terpadu di Merauke disebut mencakup lebih dari 3 juta hektare kawasan, yang berpotensi menyebabkan hilangnya vegetasi secara masif.
“Bayangkan setiap bagian vegetasi di kawasan itu ditebangi seluruhnya… semua pepohonan dan satwa liar terhapus dari lanskapnya dan digantikan dengan sistem monokultur,” ujar Hurowitz.
Perkiraan emisi karbon dari proyek ini disebut mencapai 315 juta ton CO2 setara, dan bisa dua kali lipat menurut studi dari Pusat Studi Ekonomi dan Hukum.
Pemerintah tetap melanjutkan proyek ini dengan alasan ketahanan pangan nasional. Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso menyatakan proyek food estate di Merauke akan terus dioptimalkan, termasuk pengembangan tebu dan bioetanol seluas 500.000 hektare, optimalisasi lahan 100.000 hektare, serta pencetakan sawah seluas satu juta hektare.
“Pasti akan kita dorong (food estate) untuk optimalisasinya, terutama food estate yang baru yang di kawasan Merauke di Papua, yang saya kira sudah sejak beberapa tahun yang lalu menjadi satu kawasan yang kita desain,” ujar Susiwijono Moegiarso, dikutip dari Antara, Rabu (23/4).