Emisi Karbon Turun di Tengah Lonjakan Listrik, Indonesia Harus Tiru Tiongkok!

Jakarta, sustainlifetoday.com – Untuk pertama kalinya dalam sejarah, emisi karbon di Tiongkok mengalami penurunan meskipun permintaan listrik terus meningkat. Kondisi ini menjadi tonggak penting bagi negara dengan tingkat emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.
Fenomena ini dipicu oleh ledakan kapasitas pembangkit energi bersih, terutama tenaga surya, angin, dan nuklir yang untuk pertama kalinya mampu melampaui pertumbuhan permintaan listrik.
Menurut data dari Carbon Brief, pada kuartal pertama 2025, permintaan listrik di Tiongkok meningkat sebesar 2,5 persen. Namun demikian, pembangkitan dari sumber termal seperti batu bara dan gas justru menurun hingga 4,7 persen. Hal ini menyebabkan penurunan emisi karbon sebesar 1,6 persen. Di sektor ketenagalistrikan saja, emisi bahkan turun lebih signifikan: 5,8 persen.
Analis utama sekaligus pendiri Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA), Lauri Myllivirta, menyebut pencapaian ini sebagai titik balik penting dalam transisi energi global.
“Penurunan ini didorong oleh pertumbuhan pembangkit listrik bersih, bukan oleh perlambatan ekonomi seperti penurunan emisi sebelumnya,” ujarnya dilansir EcoWatch pada Selasa (20/5).
Yang menarik, Tiongkok kini telah membangun kapasitas tenaga angin dan surya hampir dua kali lipat dari gabungan seluruh negara lain. Pada April 2025, kapasitas total energi terbarukan bahkan melampaui kapasitas pembangkit termal, sebuah simbol dominasi global dalam sektor energi bersih, meskipun batu bara masih menjadi bagian penting dari bauran energi nasionalnya.
Namun, Myllivirta memperingatkan bahwa tren ini masih rapuh. Penurunan emisi hanya satu persen di bawah puncaknya, dan lonjakan permintaan atau kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada transisi energi bisa membalikkan capaian tersebut. Tiongkok juga masih tertinggal dalam upaya mencapai target pengurangan intensitas karbon sebesar 65 persen dari level 2005 pada akhir dekade ini.
Baca Juga:
- Indonesia–Thailand Bangun Kembali Forum Energi untuk Dorong Transisi Bersih
- PBB: Krisis Iklim Buat Miliaran Orang Kian Rentan Kelaparan
- Menilik Wacana Legalisasi Kasino, Apa Dampaknya bagi Sosial Ekonomi RI?
Capaian Tiongkok menimbulkan pertanyaan penting bagi Indonesia: apakah Indonesia siap mengikuti jejak transisi ini?
Indonesia menghadapi tantangan serupa, yaitu pertumbuhan permintaan listrik yang terus naik, dominasi batu bara dalam pembangkitan, serta tekanan untuk menurunkan emisi demi memenuhi target Net Zero Emissions pada 2060 atau lebih cepat.
Namun, hingga kini, pertumbuhan kapasitas energi terbarukan di Indonesia masih tertinggal jauh dari ambisi nasional. Pada akhir 2024, kontribusi energi terbarukan dalam bauran nasional baru mencapai sekitar 14 persen, jauh dari target 23 persen pada 2025.
Ironisnya, seperti halnya Tiongkok, Indonesia juga terus membangun PLTU baru, meskipun sebagian diklaim hanya akan digunakan sebagai cadangan. Kebijakan ini menuai kritik karena dianggap tidak sejalan dengan komitmen iklim global.
Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi besar di sektor surya dan panas bumi. Namun tantangannya ada pada regulasi, investasi, dan infrastruktur jaringan yang belum cukup mendukung penetrasi energi bersih secara masif.
Dengan kebutuhan listrik yang terus tumbuh, momentum untuk beralih ke energi terbarukan harus segera dimanfaatkan. Jika tidak, Indonesia bisa tertinggal lebih jauh, bukan hanya dari Tiongkok, tetapi juga dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang mulai agresif berinvestasi di sektor energi bersih.