Cagar Budaya Rentan Kebakaran, PBN Tegaskan Pentingnya K3 Api

Jakarta, sustainlifetoday.com – Rentetan kebakaran yang menimpa museum dan bangunan cagar budaya di Indonesia menyoroti kurangnya sistem perlindungan kebakaran yang memadai. Meski menyimpan nilai sejarah dan identitas bangsa, banyak dari situs ini belum memiliki sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) kebakaran yang memadai, membuat warisan tak ternilai ini semakin rentan terhadap kehancuran yang tak bisa dipulihkan.
Dalam Seminar dan Pameran “K3 Api Cagar Budaya” yang digelar Perisai Budaya Nusantara (PBN) pada Kamis (22/5) di Museum Bank Indonesia, Ketua Yayasan Perisai Cagar Budaya Nusantara, Hasanuddin, mengingatkan bahwa kebakaran bukan sekadar musibah, melainkan risiko yang bisa dicegah.
“Sekalinya musnah terbakar, maka lenyap pula segala nilai penting yang terkandung di dalamnya,” tegasnya.
Museum Nasional Indonesia menjadi contoh nyata, ketika kebakaran pada September 2023 meluluhlantakkan 902 koleksi, termasuk nekara perunggu dari peradaban Dongson yang telah berusia lebih dari dua milenium. Kerusakan ini bukan hanya kehilangan fisik, tetapi juga warisan budaya dan pengetahuan yang tak tergantikan.
Prof. Dra. Fatma Lestari, Guru Besar K3 dari Universitas Indonesia, menggarisbawahi bahwa instalasi listrik tua dan minimnya sistem deteksi dini menjadi penyebab utama kebakaran.
“Renovasi yang menggunakan bahan mudah terbakar, aktivitas manusia seperti merokok, hingga faktor alam seperti suhu tinggi dan petir memperbesar risiko,” ujarnya.
Sementara itu, Prof. Suprapto dari ITB menambahkan bahwa banyak koleksi di museum, seperti kayu, kulit, dan tekstil, bersifat sangat mudah terbakar. Bangunan cagar budaya yang pada umumnya sudah tua, juga dibangun dengan material yang cepat menyala.
Baca Juga:
- China, Jepang, Korsel Berebut Pengaruh Energi Bersih di ASEAN
- DPR Dukung Implementasi Biodiesel B50 di Tahun 2026
- Kejagung Tangkap Dirut Sritex Soal Dugaan Korupsi Kredit Bank Rp3,6 Triliun
Karena itu, ia menekankan pentingnya penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Kebakaran (SMKK) yang mencakup proteksi pasif-aktif dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) untuk semua situs budaya.
Dalam acara tersebut, para peserta seminar juga mendapatkan kesempatan istimewa untuk melakukan tur edukatif mengelilingi Museum Bank Indonesia. Dalam sesi ini, mereka diajak menelusuri koleksi-koleksi bersejarah yang merekam jejak panjang perjalanan ekonomi dan moneter Indonesia, mulai dari masa kolonial hingga era modern.

Koleksi yang ditampilkan tidak hanya menambah wawasan tentang sejarah perbankan nasional, tetapi juga memperkuat kesadaran akan pentingnya pelestarian artefak dan bangunan bersejarah.
Kegiatan ini menjadi bagian integral dari upaya edukasi menyeluruh dalam acara “K3 Api Cagar Budaya” dengan tujuan membangun kepedulian lintas sektor terhadap pentingnya perlindungan fisik dan nilai kultural cagar budaya.
Di kesempatan yang sama, Sugiarto Goenawan, Direktur PT Uzin Utz Indonesia, memperkenalkan inovasi cat pelindung api yang dapat mengembang sendiri dan mengeluarkan gas CO₂ ketika suhu mencapai 250°C. Inovasi ini dikembangkan untuk menyelamatkan bangunan cagar budaya tanpa merusak struktur atau estetikanya. Produk ini diberi kode Uzin SC 35 (cat) dan Uzin SC 36 (coating).
“Ketika terjadi kebakaran, cat akan mengembang 50–100 kali lipat dan mengeluarkan gas CO₂ yang menghambat penyebaran api,” jelas Sugiarto.
Teknologi ini menjadi bukti bahwa inovasi dapat menjadi bagian penting dari strategi pelestarian dan keberlanjutan budaya.
Upaya pelindungan ini tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Seminar tersebut melibatkan kolaborasi lintas kementerian, diantaranya Kementerian Kebudayaan, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Ketenagakerjaan, seminar ini juga menghadirkan berbagai pakar dari bidang K3, arkeologi, hingga keberlanjutan konstruksi. Mereka menyerukan pentingnya integrasi antara teknologi, regulasi, dan edukasi publik demi melindungi situs warisan bangsa dari kehancuran.