Energi Terbarukan Masih Impor, Wakil Ketua MPR: Ironi Besar bagi Indonesia

Jakarta, sustainlifetoday.com – Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PAN, Eddy Soeparno, menyayangkan masih tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor energi, termasuk energi terbarukan, meskipun Indonesia merupakan negara dengan kekayaan sumber daya energi yang melimpah.
“Ironi besar terjadi di Indonesia. Energi terbarukan kita kaya, tapi energi sehari-hari justru kita impor,” ujar Eddy dalam diskusi bersama mahasiswa di KBRI Beijing, China, Selasa (16/4) malam.
Eddy menyoroti fakta bahwa Indonesia memiliki cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia serta potensi energi dari angin, air, sinar matahari, hingga fosil seperti batu bara yang melimpah.
“Produksi batu bara kita 900 juta ton per tahun. Kalau terus diproduksi, 200 tahun pun tak akan habis,” jelasnya.
Namun, di sisi lain, Indonesia masih mengimpor sekitar 75% kebutuhan elpiji domestik dari luar negeri, terutama untuk tabung elpiji bersubsidi ukuran 3 kg (melon).
Eddy mengungkapkan bahwa subsidi elpiji mencapai Rp33.000 per keluarga per tahun, dengan total subsidi yang membebani APBN mencapai triliunan rupiah.
Baca Juga:
- TPST di IKN Siap Olah Sampah Jadi Energi Terbarukan
- Gunakan Listrik 100%, LRT Jabodebek Dorong Hadirkan Transportasi Ramah Lingkungan
- Kepala DLH Tangsel Korupsi Sampah Rp75,9 Miliar, Prioritas Sampah Pemda Dipertanyakan
“Beban negara sangat besar, dan ironinya subsidi ini sering tidak tepat sasaran. Banyak masyarakat mampu yang ikut menikmati subsidi ini,” ungkapnya.
Ia pun mendorong pemerintah untuk menyusun sistem distribusi subsidi energi yang lebih tepat sasaran, seperti menggunakan data KTP atau sistem kartu bagi keluarga miskin.
Tak hanya elpiji, Eddy juga menyoroti subsidi bahan bakar minyak (BBM) seperti Pertalite yang dinilai tidak efisien.
“Harga jual Rp10.000, tapi harga pokok produksi Rp15.600. Selisihnya itu disubsidi. Padahal 33 juta kiloliter per tahun masih kita impor juga,” tegasnya.
Eddy berharap pengelolaan energi, baik terbarukan maupun fosil, dapat ditata lebih optimal agar sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan nasional.