Efek Kebijakan Impor AS, 1,2 Juta Buruh Tanah Air Diprediksi Kena PHK

Jakarta, sustainlifetoday.com – Kebijakan impor proteksionis yang dijalankan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump diprediksi akan berdampak buruk bagi sektor ketenagakerjaan di Indonesia. Sedikitnya 1,2 juta pekerja di tanah air diperkirakan bakal kehilangan pekerjaan akibat penurunan permintaan ekspor dari AS.
Prediksi ini disampaikan Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, dalam diskusi Forum Wartawan Industri (Forwin) di Jakarta, Kamis (17/4/2025). Ia mengutip data Dana Moneter Internasional (IMF) yang menunjukkan bahwa setiap kenaikan tarif impor sebesar 1 persen dari AS bisa menurunkan volume impornya hingga 0,8 persen.
“Kita hitung, hasilnya ada sekitar 1,2 juta tenaga kerja Indonesia yang berpotensi terkena PHK imbas tarif Trump. Untuk sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) sendiri, ada sekitar 191 ribu pekerja yang terdampak,” ungkap Huda.
Baca Juga:
- PLN Nusantara Power Pamerkan Inovasi Hidrogen di GHES 2025
- Bangun Ekonomi Sirkular, Ini Langkah Pelni dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
- Pemanfaatan Energi Bersih di ASEAN Masih Tertinggal Jauh
Tak hanya sektor tekstil, industri lain seperti kimia dasar serta minyak nabati dan hewani—termasuk crude palm oil (CPO)—juga tak luput dari risiko. Khusus untuk sektor CPO, Huda memprediksi sekitar 28 ribu pekerja terancam kehilangan pekerjaan.
Menurut Huda, dampak tersebut tidak dapat dihindari jika Indonesia tidak segera mengalihkan pasar ekspor dari AS ke negara lain. Penurunan permintaan dari pasar AS akan menekan produksi di dalam negeri, yang pada akhirnya memaksa perusahaan untuk merasionalisasi jumlah tenaga kerja.
“Pasar internasional turun, otomatis produksi perusahaan juga ikut turun. Ketika produksi menurun, maka kebutuhan tenaga kerja untuk memproduksi barang tersebut juga ikut berkurang,” ujarnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ian Syarif, mengatakan bahwa industri tekstil nasional tengah menyusun strategi untuk meredam dampak kebijakan perdagangan AS. Salah satunya dengan menawarkan peningkatan impor kapas atau katun dari Amerika.
Menurut Ian, langkah tersebut bukan sekadar menambah impor dari AS, tetapi bagian dari strategi agar produk tekstil Indonesia bisa memenuhi syarat asal bahan baku (rules of origin) dan menikmati potongan tarif masuk ke pasar AS.
“Industri tekstil sudah menawarkan untuk membeli katun lebih banyak dari Amerika. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan tarif yang lebih rendah. Ini bagian dari pendekatan asosiasi ke Amerika,” kata Ian.
AS sendiri memiliki aturan ketat mengenai asal bahan katun dalam produk tekstil. Setidaknya 20 hingga 50 persen bahan katun dalam pakaian yang diekspor ke AS harus berasal dari negaranya agar bisa menikmati pengurangan tarif.
Ian juga mengungkapkan bahwa pihaknya akan menggelar pertemuan dengan para produsen kapas AS pada 20 April mendatang. Dalam pertemuan tersebut, pelaku industri tekstil Indonesia akan langsung bertemu dengan buyer untuk mencapai kesepakatan dagang baru di bawah kerangka Trade and Investment Framework Agreement (TIFA).
“Amerika memang tidak produksi baju atau kain, tapi mereka penghasil katun terbesar. Kalau kita gunakan katun dari mereka, produk kita bisa masuk AS dengan tarif lebih murah,” jelas Ian.
Langkah-langkah ini diharapkan bisa mengurangi tekanan terhadap sektor tekstil dan menjaga keberlangsungan lapangan kerja di tengah ancaman perang dagang yang terus berlanjut.