Target Energi Bersih Australia 2030 Terancam Gagal, Indonesia Harus Ambil Pelajaran

Jakarta, sustainlifetoday.com — Australia tengah menghadapi tantangan serius dalam mencapai target ambisiusnya untuk mencapai bauran energi terbarukan sebesar 82% pada tahun 2030. Menurut analisis terbaru dari lembaga riset energi global Wood Mackenzie, negara tersebut diperkirakan hanya akan mampu mencapai 58% bauran energi bersih pada akhir dekade ini, dimana angka itu masih jauh di bawah target yang ditetapkan.
“Analisis kami menunjukkan bahwa Australia saat ini berada di jalur untuk mencapai hanya 58% pembangkit listrik terbarukan pada 2030,” kata Analis Senior Wood Mackenzie, Natalie Thompson, dikutip dari Reuters, Jumat (16/5).
Sejumlah hambatan seperti keterlambatan koneksi jaringan, kompleksitas perencanaan proyek, dan investasi yang belum memadai menjadi penghalang utama. Selain itu, kebijakan yang tidak konsisten dari beberapa pemerintah negara bagian, seperti Queensland dan Northern Territory, yang berniat mencabut atau mengurangi target energi terbarukan mereka, menambah ketidakpastian transisi energi di Negeri Kanguru.
Ironisnya, Australia masih sangat bergantung pada batu bara untuk pembangkitan listrik dan berada di antara negara dengan tingkat emisi karbon per kapita tertinggi di dunia. Pemerintah Australia berkomitmen untuk menutup semua pembangkit listrik tenaga batu bara pada tahun 2038, tetapi jalan menuju transisi energi yang mulus masih penuh tantangan.
Baca Juga:
- Pendidikan Perubahan Iklim Segera Masuk Kurikulum Nasional
- Penelitian: Bumi Akan Kehabisan Oksigen dalam Satu Miliar Tahun!
- Dorong Haji Berkelanjutan, Muhammadiyah Luncurkan Buku Green Hajj
Di sisi lain, Indonesia juga mematok target ambisius untuk tahun 2030. Pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan (EBT) mencapai 23% sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional, serta penurunan emisi CO₂ sebesar 358 juta ton. Bahkan, dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), target bauran EBT disebut bisa ditingkatkan hingga 34% jika berbagai strategi percepatan dijalankan.
Namun, seperti Australia, Indonesia pun menghadapi sejumlah tantangan: mulai dari ketergantungan pada energi fosil, lambannya realisasi proyek-proyek EBT, hingga masalah pembiayaan dan koordinasi antar lembaga. Beberapa proyek PLTS dan PLTB skala besar masih menghadapi kendala izin, pembebasan lahan, hingga ketidaksesuaian regulasi pusat dan daerah.
Melihat kasus Australia, yang memiliki kapasitas finansial dan teknologi yang relatif lebih kuat dibanding Indonesia namun tetap kesulitan memenuhi targetnya, menjadi pengingat penting bahwa perencanaan matang, investasi kuat, serta koordinasi lintas sektor dan pemerintahan adalah kunci untuk keberhasilan transisi energi bersih.
Bagi Indonesia, pertanyaannya kini bukan hanya soal menetapkan target, tetapi bagaimana memastikan bahwa target tersebut dapat dicapai secara realistis dan berkelanjutan.