Alihkan Impor Minyak ke AS, Pemerintah Diingatkan Tak Timbulkan Masalah Baru

Jakarta, sustainlifetoday.com – Rencana pemerintah untuk mengalihkan impor minyak mentah dan Bahan Bakar Minyak (BBM) dari Singapura ke Amerika Serikat (AS) menuai sorotan dari sejumlah kalangan. Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menyampaikan bahwa langkah ini bisa menjadi solusi untuk menurunkan defisit neraca perdagangan AS, namun berpotensi menimbulkan persoalan baru bagi Indonesia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, sebelumnya menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari strategi negosiasi Indonesia dengan AS. Indonesia mengusulkan peningkatan impor energi dari AS hingga USD10 miliar, termasuk pembelian minyak mentah, BBM, dan gas petroleum cair (LPG). Harapannya, langkah ini dapat menurunkan bea masuk produk Indonesia ke AS yang saat ini mencapai 32%.
Namun, menurut Fahmy, keputusan untuk mengalihkan impor minyak ke AS tidak bisa serta-merta diambil tanpa mempertimbangkan kesiapan teknis dan dampak ekonomi dalam negeri. Ia menilai, minyak mentah dari AS belum tentu sesuai dengan spesifikasi kilang milik Pertamina. Selain itu, BBM jenis Pertalite, yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia, tidak dijual di pasar AS dan memerlukan proses blending khusus yang belum tentu dapat dipenuhi oleh pemasok di AS.
Baca Juga:
- AS Pecat Massal Ilmuwan Iklim, Dunia Cemas Hadapi Dampaknya
- KLH: Generasi Muda Dorong Transformasi Industri Menuju Keberlanjutan
- Menuju NZE 2060, Indonesia Fokus pada Akses dan Kesadaran Energi Terbarukan
“Kalau Bahlil memaksakan untuk tetap mengalihkan impor minyak dari Singapura ke USA, Pemerintah harus memastikan bahwa spesifikasi minyak mentah sesuai dengan kilang Pertamina, dan USA bisa melakukan blending untuk menghasilkan Pertalite,” ujar Fahmy kepada sustainlifetoday.com.
Selain itu, ia mengingatkan soal potensi meningkatnya biaya logistik yang membuat harga impor minyak dari AS menjadi lebih mahal dibanding Singapura. Fahmy juga menyinggung adanya risiko perlawanan dari kelompok yang disebutnya sebagai mafia migas, yang selama ini menikmati keuntungan dari praktik impor BBM dari Singapura.
“Mafia migas yang selama ini memburu rente impor BBM dari Singapura pasti akan melakukan upaya penghalangan,” tambahnya.
Fahmy menekankan bahwa kebijakan pemerintah harus dirancang untuk menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah tidak hanya mengejar keuntungan dari sisi diplomatik atau perdagangan luar negeri, tetapi juga memperhitungkan dampaknya terhadap infrastruktur dalam negeri, ketersediaan pasokan energi yang sesuai kebutuhan, dan harga yang kompetitif.
“Tanpa berbagai upaya tersebut, kebijakan alih impor minyak hanya akan mengatasi defisit neraca perdagangan AS, tetapi akan menimbulkan persoalan baru di dalam negeri,” tegas Fahmy.