Climate Analytics: Komitmen Energi Bersih Indonesia Masih Sekadar Janji

Jakarta, sustainlifetoday.com – Indonesia termasuk dalam delapan negara Asia yang dinilai belum menunjukkan kemajuan signifikan dalam merealisasikan komitmen transisi energi internasional.
Hal ini terungkap dalam laporan terbaru Climate Analytics berjudul “The Impact of Global Climate Pledges on National Action: A Snapshot Across Asia”.
Laporan tersebut mengevaluasi pelaksanaan sejumlah inisiatif kerja sama internasional terkait transisi energi di Indonesia, Jepang, Malaysia, Filipina, Korea Selatan, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Negara-negara tersebut dipilih karena ketergantungannya yang tinggi terhadap bahan bakar fosil serta keterlibatan mereka dalam berbagai kesepakatan iklim global.
Climate Analytics menyoroti bahwa meskipun Indonesia telah menandatangani sejumlah komitmen internasional, termasuk Global Coal to Clean Power Transition Statement pada COP26 dan Global Methane Pledge, implementasi di tingkat nasional masih minim.
“Salah satu masalah utama dari komitmen ini adalah sifatnya yang sukarela dan tidak mengikat, sehingga tidak berdampak signifikan,” ujar Nandini Das, salah satu penulis laporan, dikutip Senin (21/4).
Laporan tersebut juga mencatat bahwa kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara di Indonesia justru terus bertambah.
Sejak semester II/2023, pembangunan PLTU baru dengan kapasitas total 1 gigawatt (GW) telah mendapat izin atau memulai konstruksi. Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024–2060 bahkan memproyeksikan tambahan kapasitas PLTU sebesar 76,5 GW, naik 26,8 GW dari 2024.
Baca Juga:
- PLN Nusantara Power Pamerkan Inovasi Hidrogen di GHES 2025
- Pembiayaan Kendaraan Listrik Mandiri Utama Finance Tumbuh Hingga 218%
- Penjualan Anjlok, Ini Alasan Motor Listrik Susah Laku di Indonesia
Sementara itu, pengembangan energi terbarukan dinilai stagnan. Investasi di sektor ini hanya mencapai US$400 juta pada 2023, lebih rendah dibandingkan Thailand.
Selain itu, emisi metana Indonesia meningkat 7% dari 2022 hingga 2023, meskipun negara ini telah menyepakati penurunan emisi metana sebesar 30% pada 2030.
Penulis utama laporan, Thomas Houlie, menyatakan bahwa tahun 2025 akan menjadi momen penting untuk melihat apakah komitmen internasional tersebut akan diikuti oleh aksi konkret.
“Komitmen internasional harus tercermin dalam target iklim nasional (NDC) dan kebijakan nyata. Tahun ini menjadi momen penting untuk melihat apakah komitmen tersebut akan mendorong aksi atau hanya menjadi jargon diplomatik,” tulis Thomas Houlie.