Industri Tekstil Gak Bisa ‘Sustain’, APSyFI Sebut Karena Kebijakan Pro Impor

JAKARTA, sustainlifetoday.com – Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional kembali mengalami pukulan berat. Sebanyak 60 perusahaan, termasuk PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), harus menutup operasionalnya akibat derasnya arus impor yang tidak terkendali. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menilai pemerintah gagal melindungi industri dalam negeri dari serbuan barang impor.
Dalam dua tahun terakhir, Redma menyebut pemerintah seolah membiarkan sektor TPT berada dalam tekanan akibat kebijakan yang dinilai lebih menguntungkan produk impor. Menurutnya, permasalahan utama industri ini sudah jelas, yakni maraknya barang impor murah yang masuk secara legal maupun ilegal. Namun, langkah konkret untuk menanganinya dinilai tidak optimal.
“Solusinya sudah jelas, kendalikan impor legal dan berantas praktik importasi ilegal dengan penegakan hukum yang tegas serta perbaikan kinerja Bea Cukai,” ujarnya, dikutip Senin (10/3).
Baca Juga:
- Konversi Hutan untuk Bioetanol, Efektif atau Berisiko?
- Ancaman Iklim Bisa Membuat Secangkir Kopi Jadi Tinggal Kenangan di 2050
- BI Buka Layanan Tukar Uang Baru untuk Lebaran, Ini Jadwal dan Caranya
Redma juga menyoroti kebijakan pemerintah yang dinilai tidak konsisten dalam mengatur impor. Ia menyebut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 36 Tahun 2023 yang sempat mengendalikan impor hanya bertahan tiga bulan sebelum direvisi menjadi Permendag No. 8 Tahun 2024 yang kembali merelaksasi impor.
“Pemerintah setengah hati. Yang ilegal pun dibiarkan, seakan semuanya baik-baik saja. Padahal, kondisi industri dalam negeri semakin terpuruk,” tambahnya.
Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, juga mengungkapkan keprihatinannya. Ia menegaskan bahwa gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat penutupan perusahaan ini lebih banyak terjadi pada industri kecil dan menengah (IKM), yang jumlahnya hampir mencapai 1.000 unit dengan tenaga kerja yang terdampak mencapai ratusan ribu orang.
“Kami kecewa dengan pemerintah, terutama Kementerian Keuangan, yang membiarkan praktik impor borongan terus berlangsung. Sementara itu, pajak kami dinaikkan dan kami dipaksa bersaing dengan barang impor yang masuk tanpa membayar bea masuk dan pajak,” tegas Nandi.
Nandi juga menyebut bahwa persoalan ini merupakan tantangan besar bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, ada indikasi kuat bahwa kebijakan impor yang longgar menguntungkan oknum di pemerintahan.
“Ini persoalan serius, banyak oknum birokrasi mendapatkan keuntungan dari praktik impor ilegal. Kami berharap Presiden Prabowo segera membersihkan praktik ini,” cetusnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil, Agus Riyanto, menilai bahwa reformasi di sektor ekonomi bisa dimulai dari Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Keuangan. Ia menuding kedua kementerian tersebut sebagai biang kerok dari maraknya impor yang merugikan industri nasional.
“Relaksasi impor yang mengubah Permendag 36 ke Permendag 8 didorong dari Kementerian Koordinator Perekonomian. Bahkan, sehari setelah aturan itu berlaku, Menteri terkait bersama Menteri Keuangan melepas 17 ribu kontainer yang sebelumnya terhambat,” ungkapnya.
Agus juga menyarankan langkah radikal untuk menata ulang sistem impor di Indonesia, termasuk dengan membekukan Bea Cukai seperti yang pernah dilakukan di era Orde Baru dan menggantinya dengan sistem Pre-shipment Inspection (PSI).
“Bea Cukai sangat sulit dibersihkan karena oknum yang terlibat sudah menyebar di semua lapisan, bahkan diduga melibatkan aparat penegak hukum,” katanya.