Jaksa Agung: BBM Pertamina Saat Ini Sudah Sesuai Standar

Jakarta, sustainlifetoday.com – Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menegaskan bahwa kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina terjadi pada periode 2018 hingga 2023.
Burhanuddin menyatakan bahwa berdasarkan fakta penyidikan, bahan bakar minyak (BBM) hasil dari kasus korupsi tersebut sudah tidak lagi beredar sejak tahun 2024.
“Karena BBM adalah barang habis pakai dan jika dilihat dari sisi lamanya stok kecukupan BBM yang berkisar antara 21-23 hari, maka BBM yang dipasarkan pada Tahun 2018-2023 tidak ada lagi stoknya di Tahun 2024,” ujar Burhanuddin dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (6/3).
Ia juga memastikan bahwa spesifikasi BBM yang dijual Pertamina sejak tahun 2024, khususnya untuk jenis Pertamax, telah sesuai dengan standar yang berlaku.
“Artinya bahwa mulai 2024 tidak ada kaitannya dengan yang sedang diselidiki. Artinya kondisi Pertamax yang ada sudah bagus dan sudah sesuai dengan standar yang ada di Pertamina,” tuturnya.
Burhanuddin meminta masyarakat tidak ragu dalam membeli dan menggunakan BBM dari Pertamina karena mutu produk yang beredar saat ini telah memenuhi standar.
Baca Juga:
- Gantikan BBM, Menhut Usul Pohon Aren Jadi Sumber Energi
- Program Cek Kesehatan Gratis dari Kemenkes Kini Lebih Fleksibel, Ini Caranya
- BI Buka Layanan Tukar Uang Baru untuk Lebaran, Ini Jadwal dan Caranya
“Itu pasti jaminan mutu, ini bukan iklan. Tapi Insya Allah kita punya satu Pertamina yang bagus dan tentunya mari kita bersama-sama untuk menjaganya,” tambahnya.
Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan orang tersangka yang terdiri dari enam pegawai Pertamina dan tiga pihak swasta. Salah satu tersangka adalah Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa total kerugian keuangan negara akibat korupsi ini mencapai Rp193,7 triliun. Rinciannya meliputi kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sebesar Rp2,7 triliun, dan kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun. Selain itu, terdapat kerugian dari pemberian kompensasi pada 2023 sebesar Rp126 triliun dan subsidi tahun yang sama sebesar Rp21 triliun.