Ancaman Iklim Bisa Membuat Secangkir Kopi Jadi Tinggal Kenangan di 2050

Jakarta, sustainlifetoday.com – Ketika Generasi Z menyeruput kopi hitam di kedai kopi atau memesan es kopi susu kekinian dari aplikasi daring, mungkin tak banyak yang menyadari bahwa kopi berada di ambang krisis. Para peneliti lingkungan telah memperingatkan bahwa pada tahun 2050, kopi terutama jenis arabika, bisa kehilangan lebih dari separuh habitat alaminya akibat perubahan iklim.
Mengapa kopi bisa terancam punah?
Menurut laporan World Coffee Research (WCR), perubahan iklim telah memicu peningkatan suhu global, ketidakpastian pola hujan, dan serangan hama serta penyakit tanaman kopi. Jenis kopi arabika yang menjadi favorit dunia, termasuk di Indonesia, sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Jika suhu bumi naik lebih dari 2 derajat Celsius, produktivitas tanaman ini akan turun drastis.
Salah satu dampak nyata adalah penyebaran penyakit karat daun kopi (Coffee Leaf Rust atau CLR), yang kini menjadi momok bagi petani kopi di berbagai negara. Pada 2011, penyakit ini menghancurkan lebih dari 70% kebun kopi di Amerika Tengah, menyebabkan kerugian senilai USD 3,2 miliar dan membuat 1,7 juta petani kehilangan pekerjaan. Indonesia, sebagai negara penghasil kopi terbesar keempat di dunia, tidak luput dari ancaman ini. Kondisi curah hujan yang semakin tidak menentu memperparah penyebaran penyakit tanaman dan menurunkan hasil panen secara signifikan.
Menurut studi dari Climate Institute, produksi kopi global akan turun hingga 50% pada 2050, dengan wilayah-wilayah penghasil kopi utama di Brasil, Kolombia, Ethiopia, dan Indonesia mengalami penurunan tajam akibat degradasi lahan dan kenaikan suhu. Kondisi ini bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga menjadi ancaman ekonomi yang serius bagi lebih dari 125 juta orang yang menggantungkan hidupnya pada industri kopi.
BACA JUGA: Botol Tumbler, Langkah Kecil untuk Keberlanjutan Global
Di tengah ancaman ini, konsumsi kopi justru meningkat pesat di kalangan Generasi Z. Survei dari National Coffee Association menunjukkan bahwa lebih dari 65% anak muda usia 18–24 tahun di dunia mengonsumsi kopi setiap hari, baik untuk meningkatkan produktivitas maupun sebagai bagian dari gaya hidup. Kopi telah menjadi “teman setia” bagi generasi ini, baik saat bekerja, belajar, atau sekadar berkumpul bersama teman.
Namun, ironisnya, generasi yang paling menikmati kopi juga bisa menjadi generasi terakhir yang menikmatinya dengan mudah. Ketika produksi kopi menurun, harganya akan meroket, menjadikannya barang mewah yang sulit dijangkau oleh kebanyakan orang. Pada titik ini, krisis kopi akan memengaruhi tidak hanya kebiasaan individu, tetapi juga perekonomian global dan stabilitas sosial di negara-negara penghasil kopi seperti Indonesia.

Lantas, apakah kopi masih bisa diselamatkan?
Harapan masih ada. Berbagai pihak mulai bergerak untuk menyelamatkan kopi dari ancaman perubahan iklim. Di Indonesia, program seperti Bukit Barisan Selatan Kemitraan Komoditas Lestari mencoba menyeimbangkan produktivitas kopi dengan konservasi lingkungan. Petani didorong untuk menerapkan teknik agroforestri, yaitu menanam kopi di bawah naungan pohon-pohon hutan agar ekosistem tetap terjaga.
Selain itu, inovasi teknologi juga menawarkan solusi. Varietas kopi hibrida yang tahan terhadap suhu tinggi dan penyakit mulai dikembangkan untuk membantu petani bertahan di tengah perubahan iklim. Di tingkat global, perusahaan kopi ternama seperti Nespresso telah meluncurkan inisiatif “netral karbon” yang menekan emisi di sepanjang rantai produksi kopi.
Generasi Z sebagai konsumen utama memiliki peran besar dalam upaya ini. Dengan memilih kopi dari perkebunan berkelanjutan, mengurangi limbah plastik dari kemasan sekali pakai, dan mendukung gerakan “kopi hijau,” mereka bisa mendorong industri kopi menuju arah yang lebih ramah lingkungan. Generasi muda juga bisa terlibat dalam kampanye edukasi dan advokasi untuk mendesak para pemangku kepentingan agar serius menangani krisis ini.
Ancaman punahnya kopi adalah cerminan nyata dari dampak perubahan iklim terhadap kehidupan manusia. Ini bukan hanya tentang kehilangan secangkir kopi di pagi hari, tetapi juga tentang nasib jutaan petani kecil dan kelestarian lingkungan global. Generasi Z, yang dikenal sebagai generasi peduli lingkungan, memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan dalam isu ini. Melalui edukasi, advokasi, dan pilihan konsumsi yang bijak, generasi ini bisa memainkan peran kunci dalam menyelamatkan kopi dan masa depan mereka sendiri.
Jika tidak ada langkah konkret yang diambil, dunia mungkin akan menghadapi kenyataan pahit di mana kopi menjadi barang langka dan mahal pada 2050. Namun, dengan kolaborasi global dan komitmen kuat dari semua pihak, harapan untuk mempertahankan kopi tetap hidup di tengah krisis iklim masih bisa diperjuangkan. Kopi bukan sekadar minuman, ia adalah simbol ketahanan, kebersamaan, dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
BACA JUGA: Survei: 92% Pemilik Mobil Listrik Tak Akan Kembali ke Kendaraan Bensin