Konversi Hutan untuk Bioetanol, Efektif atau Berisiko?

Jakarta, sustainlifetoday.com – Pemerintah berencana mengubah hingga 20 juta hektare lahan hutan untuk mendukung program ketahanan pangan, energi, dan air. Salah satu proyek andalannya adalah penanaman 1,5 juta pohon aren di lahan seluas 1 juta hektare. Proyek ini ditargetkan menghasilkan 24 ribu kiloliter bioetanol per hektare untuk menggantikan bahan bakar minyak (BBM).
Pengamat ekonomi energi Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti mengapresiasi upaya pemerintah namun menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam pelaksanaan program ini, terutama terkait potensi dampaknya terhadap lingkungan dan keberlanjutan.
“Yang harus hati-hati adalah jangan sampai lahan hutan dikonversi secara langsung, karena itu berpotensi menimbulkan utang karbon hingga 100 tahun ke depan,” ujarnya saat dihubungi Sustainlifetoday.com, Rabu (8/1).
Yayan menekankan bahwa konversi hutan menjadi lahan monokultur, seperti aren, dapat mengganggu penyerapan karbon alami hutan heterogen.
“Jika ini dilakukan tanpa perencanaan matang, kita tidak hanya kehilangan manfaat lingkungan, tetapi juga memengaruhi pertumbuhan ekonomi akibat produktivitas pertanian yang menurun,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia mempertanyakan delineasi penggunaan lahan seluas 20 juta hektare tersebut. Menurutnya, pemerintah belum memberikan kejelasan berapa persen lahan yang akan digunakan untuk bioetanol dan pangan. Ia juga membandingkan produktivitas tanaman aren dengan tebu, yang lebih umum digunakan untuk bioetanol di negara-negara seperti Brasil.
“Tebu telah terbukti efektif di Brasil sejak tahun 1990-an. Di Indonesia, kita dulu punya perkebunan tebu besar di Jawa Timur, tetapi kini lahan itu berubah fungsi. Kalau pemerintah ingin memanfaatkan aren, riset lebih lanjut harus dilakukan untuk memastikan keunggulan ekonominya dibandingkan tebu,” tuturnya.
Tantangan Produktivitas dan Teknologi
Kementerian Kehutanan mengklaim bahwa program ini dapat menghasilkan 24 ribu kiloliter bioetanol per hektare. Namun, Yayan menilai angka tersebut perlu diverifikasi melalui riset mendalam dan pengembangan teknologi berkelanjutan.
“Produktivitas sawit di Indonesia, misalnya, masih rendah karena kurangnya praktik pertanian berkelanjutan. Hal serupa bisa terjadi pada aren jika teknologinya tidak valid dan efektif,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa kebijakan energi harus seimbang dengan target Net Zero Emissions (NZE). “Kebijakan ini tidak boleh kontradiktif dengan NZE. Pemerintah harus memastikan bahwa penggantian fosil fuel dilakukan tanpa merusak lingkungan,” tambahnya.
Saran untuk Pemerintah
Menurut Yayan, pemerintah harus mengedepankan pendekatan berbasis riset dan teknologi yang valid dalam pelaksanaan program ini. Pendekatan tersebut harus mempertimbangkan aspek lingkungan, efisiensi ekonomi, dan keberlanjutan jangka panjang.
“Keseimbangan antara ekonomi, energi, pangan, dan perubahan iklim harus menjadi prioritas. Jika tidak, dampaknya tidak hanya dirasakan sekarang, tetapi juga oleh generasi mendatang,” tegasnya.
Program bioetanol ini memiliki potensi besar, tetapi tantangannya juga tidak sedikit. Dengan perencanaan yang matang, program ini dapat menjadi solusi energi berkelanjutan tanpa mengorbankan lingkungan.
BACA JUGA: Mas Achmad Daniri: ESG Bukan Sekadar Nilai, Tapi Implementasi yang Terintegrasi