Kata Pengamat Soal Mega Korupsi Pertamina: Jangan Terjebak pada Isu Blending

Jakarta, sustainlifetoday.com – Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menyoroti kasus dugaan mega korupsi di tubuh PT Pertamina (Persero) yang dikabarkan merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun per tahun selama lima tahun terakhir. Ia mengingatkan agar perdebatan terkait praktik blending BBM tidak mengaburkan fokus utama, yakni dugaan markup impor minyak mentah, impor BBM, serta pengapalan impor minyak mentah dan BBM yang menjadi sumber utama kerugian negara.
Menurutnya, perdebatan antara Kejaksaan Agung dan Pertamina mengenai blending BBM justru berisiko menimbulkan dampak negatif bagi persaingan usaha dan perekonomian nasional. Salah satunya adalah potensi migrasi konsumen dari SPBU Pertamina ke SPBU asing serta peralihan konsumsi BBM non-subsidi Pertamax ke BBM bersubsidi Pertalite. Jika pergeseran konsumsi ini meluas, bukan hanya Pertamina yang dirugikan, tetapi juga anggaran negara yang harus menanggung subsidi BBM yang semakin membengkak.
“Pertamina harus segera menghentikan penyangkalan terhadap temuan Kejaksaan Agung karena hal itu justru kontra-produktif,” ujarnya kepada sustainlifetoday.com Minggu (2/3).
Ia menegaskan bahwa Kejaksaan Agung harus tetap fokus pada penyelidikan dugaan mega korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina pada periode 2018-2023.
Sebagaimana diketahui, sejumlah nama pejabat Pertamina disebut-sebut terlibat dalam skandal ini, termasuk Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, serta beberapa petinggi perusahaan swasta.
Baca Juga:
- Pertamina Tegaskan Tak Oplos BBM
- Lewat Danantara, Empat Negara Tertarik Gelontorkan Investasi Hijau di RI
- Ini Keuntungan Menabung di Bank Emas
Ketimbang berkutik pada modus blending yang mencuat, Fahmy menerangkan bahwa pembersihan menyeluruh diperlukan terhadap semua pihak yang terkait dengan jaringan mafia migas di Pertamina serta kementerian terkait, termasuk pihak-pihak yang diduga menjadi ‘backing’ mafia migas.
Fahmy juga menyinggung pernyataan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan, yang pernah mengakui bahwa dirinya tidak mampu membubarkan Petral, anak perusahaan Pertamina yang dicurigai sebagai pusat mafia migas, karena adanya dukungan kuat dari kelompok tertentu. Ia menilai bahwa sulitnya mengungkap jaringan mafia ini menunjukkan adanya kekuatan yang melindungi kepentingan mereka.
“Seolah-olah selama periode tersebut (2018-2023), mega korupsi ini tidak tersentuh sama sekali karena kekuatan backing-nya, tetapi mulai terungkap ketika backing tersebut tak lagi sakti,” terangnya.
Lebih lanjut, Fahmy menekankan bahwa tanpa tindakan tegas dan operasi besar-besaran untuk membongkar jaringan mafia migas, termasuk menindak para pendukungnya, kasus serupa sangat mungkin terjadi lagi di masa mendatang.
“Tanpa operasi besar-besaran terhadap jaringan mafia migas, termasuk menyikat backing-nya, mega korupsi Pertamina pasti terulang lagi,” pungkasnya.