Polusi Udara Meningkat, Hanya 7 Negara Ini Penuhi Standar WHO

Jakarta, sustainlifetoday.com – Laporan terbaru IQAir menunjukkan bahwa hanya tujuh negara yang memenuhi standar kualitas udara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2024. Sementara itu, para peneliti memperingatkan bahwa upaya global untuk melawan polusi udara semakin sulit setelah Amerika Serikat menghentikan program pemantauan udaranya.
Negara-negara yang berhasil menjaga kualitas udara sesuai standar WHO adalah Australia, Selandia Baru, Bahama, Barbados, Grenada, Estonia, dan Islandia. Sebaliknya, Chad dan Bangladesh tercatat sebagai negara dengan tingkat polusi tertinggi di dunia.
Menurut data IQAir, rata-rata tingkat kabut asap di beberapa negara melebihi pedoman WHO hingga 15 kali lipat. Namun, kesenjangan data yang signifikan di Asia dan Afrika membuat gambaran global tentang polusi udara menjadi tidak lengkap.
Salah satu faktor yang memperburuk situasi adalah keputusan Departemen Luar Negeri AS untuk menghentikan program pemantauan udara di berbagai negara, dengan alasan keterbatasan anggaran. Padahal, banyak negara berkembang mengandalkan sensor kualitas udara yang dipasang di gedung-gedung kedutaan AS untuk memantau tingkat polusi mereka.
Baca Juga:
- Pasir Kuarsa Ditarik Jadi Mineral Kritis, Bahlil: untuk Bangun Solar Panel
- Beri Apresiasi ke Pandawara Group, Prabowo: Terus Berjalan, Jangan Lelah
- KLH Minta Pemprov Jakarta Modifikasi Cuaca Ketika Musim Kemarau
Data yang dikumpulkan selama lebih dari 17 tahun kini telah dihapus dari situs pemantauan resmi AS, airnow.gov. Hal ini berdampak besar bagi negara-negara seperti Chad, yang sebelumnya dikeluarkan dari daftar IQAir pada 2023 karena kurangnya data, meskipun pada 2022 negara tersebut tercatat sebagai yang paling tercemar.
Rata-rata konsentrasi partikel udara PM2.5 di Chad mencapai 91,8 mikrogram per meter kubik (mg/m3) pada 2024, jauh di atas batas rekomendasi WHO sebesar 5 mg/m3. India, yang berada di peringkat kelima setelah Chad, Bangladesh, Pakistan, dan Republik Demokratik Kongo, mencatatkan penurunan polusi sebesar 7%, tetapi tetap menyumbang 12 dari 20 kota paling tercemar di dunia.
Dengan semakin berkurangnya sumber data pemantauan kualitas udara, para ahli khawatir bahwa negara-negara dengan polusi tinggi akan kesulitan mengambil langkah mitigasi yang efektif.