Fenomena Hujan Es di Yogyakarta, Bagaimana Bisa Terjadi?

Jakarta, sustainlifetoday.com – Pada Selasa (11/3) sore, fenomena hujan es mengejutkan warga di beberapa wilayah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Butiran es seukuran ruas jari orang dewasa turun selama sekitar 10–15 menit sebelum akhirnya menjadi hujan air biasa. Kejadian ini memunculkan pertanyaan, bagaimana hujan es bisa terjadi, terutama di daerah tropis seperti Indonesia?
Hujan es merupakan fenomena cuaca yang terbentuk di dalam awan badai jenis Cumulonimbus. Awan ini berkembang secara vertikal hingga mencapai ketinggian belasan kilometer di atmosfer, tempat suhu bisa turun drastis hingga di bawah titik beku.
Prosesnya dimulai ketika udara panas dari permukaan bumi naik membawa uap air ke atmosfer. Jika kondisi atmosfer tidak stabil, udara ini terus naik hingga membentuk awan Cumulonimbus yang padat dan tinggi.
Di dalam awan tersebut, arus udara naik yang kuat membawa tetesan air hingga ke lapisan atmosfer yang suhunya jauh di bawah nol derajat Celsius. Di ketinggian ini, tetesan air membeku dan berubah menjadi butiran es kecil. Arus udara yang terus berputar dalam awan menyebabkan butiran es naik turun berulang kali, memungkinkan mereka bertambah besar seiring waktu karena menangkap tetesan air superdingin lainnya yang langsung membeku di permukaannya.
Saat butiran es sudah terlalu berat untuk ditahan oleh arus udara naik, mereka mulai jatuh ke permukaan bumi. Biasanya, dalam kondisi normal, es akan mencair sebelum sampai ke tanah dan berubah menjadi air hujan.
Baca Juga:
- Pasir Kuarsa Ditarik Jadi Mineral Kritis, Bahlil: untuk Bangun Solar Panel
- Mensos Ungkap 53 Titik Siap Jadi Sekolah Rakyat
- KLH Minta Pemprov Jakarta Modifikasi Cuaca Ketika Musim Kemarau
Namun, jika suhu di lapisan atmosfer bagian bawah cukup dingin, butiran es tetap bertahan dalam bentuk padat hingga menyentuh permukaan, seperti yang terjadi di Yogyakarta.
Fenomena hujan es ini umumnya terjadi saat musim peralihan atau pancaroba, ketika udara menjadi lebih tidak stabil dan banyak terbentuk awan Cumulonimbus.
BMKG mencatat bahwa suhu puncak awan yang menyebabkan hujan es di Yogyakarta mencapai minus 72,5 derajat Celsius, kondisi yang sangat mendukung terbentuknya hujan es.
Meskipun kejadian ini sering kali hanya berlangsung dalam waktu singkat dan tidak berbahaya, hujan es dapat menimbulkan dampak, seperti kerusakan atap bangunan, kendaraan, atau bahkan cedera jika butiran es berukuran lebih besar.
Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk tetap waspada terhadap tanda-tanda awal hujan es, seperti udara yang terasa lebih panas dari biasanya di pagi hingga siang hari, munculnya awan hitam pekat, serta perubahan angin yang tiba-tiba kencang sebelum hujan turun.
Hujan es di Yogyakarta ini menjadi pengingat bahwa cuaca di Indonesia semakin dinamis, terutama di tengah perubahan iklim global. Dengan memahami bagaimana fenomena ini terjadi, masyarakat bisa lebih siap menghadapi kondisi cuaca ekstrem yang mungkin terjadi di masa mendatang.