Oplos BBM hingga Markup Kontrak, Begini Dugaan Modus Korupsi Bos Subholding Pertamina

Jakarta, sustainlifetoday.com Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk pada PT Pertamina beserta Sub-Holding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023.
Sebanyak tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka, terdiri dari empat pegawai Pertamina dan tiga pihak swasta. Mereka adalah Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, serta AP selaku VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
Sementara itu, tiga tersangka dari pihak swasta yakni MKAN selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan YRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Mera.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa tersangka RS, SDS, dan AP diduga melakukan pengondisian dalam Rapat Optimasi Hilir (OH) guna menurunkan readiness/produksi kilang, sehingga minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya. Kondisi ini menyebabkan pemenuhan minyak mentah diperoleh dari impor.
“Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi,” ungkap Qohar.
Selain itu, produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS juga ditolak dengan berbagai alasan yang dibuat-buat, seperti dinilai tidak memenuhi nilai ekonomis atau dianggap tidak sesuai dengan kualitas kilang, meskipun secara teknis masih dapat diolah kembali dengan penyesuaian kadar merkuri atau sulfurnya.
Dalam proses impor minyak mentah, Kejagung menduga adanya pemufakatan jahat antara para tersangka dari Pertamina dengan pihak swasta untuk mengatur pemenang broker. Menurut Qohar, sebelum tender dilaksanakan, telah terjadi kesepakatan harga yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan secara melawan hukum.
“Sebelum tender dilaksanakan, dengan kesepakatan harga yang sudah diatur yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara,” tutur Qohar.
Baca Juga:
- Sah, Prabowo Lantik 961 Kepala Daerah di Istana Negara
- Tok, Kades Kohod dan Tiga Orang Lainnya Jadi Tersangka di Kasus Pagar Laut Tangerang
- Mungkinkah Indonesia Lepas dari Ketergantungan Air Mineral Plastik?
Salah satu modus lain yang diduga dilakukan adalah pengoplosan bahan bakar minyak (BBM). Tersangka RS disebut membeli BBM dengan spesifikasi RON 90 (Pertalite) tetapi kemudian dioplos di storage atau depo untuk menjadi RON 92 (Pertamax), yang seharusnya tidak diperbolehkan.
Kejagung juga mengungkap adanya dugaan markup kontrak pengiriman minyak mentah oleh tersangka YF. Negara disebut mengeluarkan fee sebesar 13-15 persen secara melawan hukum, yang menguntungkan pihak swasta tertentu.
Kerugian Negara Capai Rp193,7 Triliun
Kejagung mengestimasi total kerugian negara akibat praktik korupsi ini mencapai Rp193,7 triliun. Rinciannya meliputi Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp35 triliun, Kerugian Impor Minyak Mentah melalui broker sekitar Rp2,7 triliun, Kerugian Impor BBM melalui broker sekitar Rp9 triliun, Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun, serta Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 Juncto Pasal 3 Juncto Pasal 18 UU Tipikor serta Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.