Mampukah BRICS Pimpin Perjuangan Iklim Dunia?

JAKARTA, sustainlifetoday.com – Kelompok BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan memiliki potensi besar untuk memimpin upaya global dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dengan semakin berkurangnya keterlibatan Amerika Serikat dalam negosiasi iklim internasional, BRICS bisa mengisi kekosongan kepemimpinan ini.
Namun, perbedaan kepentingan internal serta posisi mereka dalam perekonomian global menghadirkan tantangan yang tidak mudah diatasi.
BRICS dan Inisiatif Pendanaan Perlindungan Ekosistem
Keberhasilan BRICS dalam merancang teks kesepakatan pada Pertemuan Keanekaragaman Hayati PBB (COP16) di Roma bulan lalu menjadi bukti kemampuan diplomasi mereka dalam isu lingkungan. Kesepakatan tersebut berpotensi membuka miliaran dolar AS dalam bentuk pendanaan bagi perlindungan ekosistem global. Jika diimplementasikan dengan baik, inisiatif ini bisa menjadi langkah penting dalam mempercepat pemulihan ekosistem yang terancam akibat deforestasi, perubahan iklim, dan eksploitasi berlebihan.
Menurut Narend Singh, Deputi Menteri Kehutanan, Perikanan, dan Lingkungan Afrika Selatan, keberhasilan BRICS dalam mencapai kesepakatan ini akan berdampak pada negosiasi iklim lainnya. Brasil, yang akan menjadi tuan rumah COP30 pada November mendatang, memiliki peluang untuk menjadikan BRICS sebagai pemain utama dalam negosiasi multilateral terkait iklim.
Brasil telah menyatakan komitmennya untuk mendorong dekarbonisasi yang lebih cepat, sejalan dengan agenda domestiknya yang berfokus pada pengurangan deforestasi di Amazon dan pengembangan energi terbarukan. Sementara itu, Tiongkok dan India telah berinvestasi besar dalam energi bersih, meskipun masih menghadapi tantangan dalam mengurangi ketergantungan pada batu bara.
Tantangan Internal BRICS
Meskipun BRICS memiliki ambisi besar dalam agenda iklim global, kelompok ini menghadapi tantangan internal yang cukup kompleks. Salah satu isu utama adalah pendanaan iklim. BRICS menolak untuk menerima kewajiban finansial yang sama seperti negara-negara maju, dengan alasan bahwa mereka masih dalam tahap pembangunan ekonomi.
Isu ini dapat menghambat kemajuan dalam negosiasi pendanaan iklim, terutama dalam upaya mencari sumber dana untuk proyek mitigasi dan adaptasi di negara berkembang. Tanpa adanya kesepakatan mengenai mekanisme pendanaan yang adil, sulit bagi BRICS untuk bersatu dalam mengambil keputusan strategis di forum global.
Selain itu, terdapat perbedaan kepentingan yang cukup tajam antar anggota BRICS. Rusia, misalnya, masih sangat bergantung pada ekspor bahan bakar fosil dan cenderung menolak kebijakan yang membatasi produksi minyak dan gas. Sebaliknya, Brasil lebih berfokus pada upaya dekarbonisasi dan perlindungan hutan hujan Amazon.
Baca Juga:
- Tolak Berikan THR untuk Driver Ojol, Maxim: Tak Sesuai Regulasi!
- CPNS Hasil Seleksi 2024 ‘Nganggur’ sampai Oktober, Ini Respons Kemenpan RB
- BI Buka Layanan Tukar Uang Baru untuk Lebaran, Ini Jadwal dan Caranya
Perbedaan ini menunjukkan bahwa meskipun BRICS memiliki kesamaan dalam hal kepentingan geopolitik dan ekonomi, mereka masih harus menghadapi tantangan dalam mencapai kesepakatan yang benar-benar solid terkait isu iklim.
Ujian besar bagi BRICS akan terjadi dalam pertemuan iklim di Bonn pada Juni mendatang, yang merupakan persiapan menuju COP30. Negara-negara BRICS akan mulai menetapkan posisi negosiasi mereka, yang kemungkinan besar akan mencerminkan perbedaan kepentingan yang ada di antara mereka.
Li Shuo, Direktur Iklim Cina di Asia Society, menyoroti bahwa meskipun BRICS memiliki perbedaan signifikan dalam tahap pembangunan dan trajektori emisi, mereka tetap memiliki kesamaan dalam aspirasi geopolitik. Jika mampu menyelaraskan kepentingan mereka, BRICS bisa menjadi kekuatan utama dalam mendorong kesepakatan iklim global yang lebih inklusif.
Brasil, sebagai tuan rumah COP30, memiliki peran penting dalam memastikan bahwa BRICS tetap bersatu dalam negosiasi iklim. Jika Brasil berhasil menggalang dukungan dari anggota lainnya, BRICS bisa menjadi motor utama dalam upaya global untuk mengurangi emisi dan meningkatkan pendanaan iklim bagi negara berkembang.
Dengan semakin berkurangnya keterlibatan Amerika Serikat dalam isu perubahan iklim global, BRICS memiliki peluang emas untuk mengambil peran kepemimpinan. Namun, keberhasilan mereka akan sangat bergantung pada kemampuan untuk mengatasi tantangan internal dan menyatukan suara dalam menghadapi isu-isu global yang mendesak.
Jika BRICS dapat mengesampingkan perbedaan kepentingan dan berfokus pada tujuan bersama, mereka berpotensi menjadi pemain kunci dalam mewujudkan ekonomi global yang lebih hijau dan berkelanjutan. Namun, tanpa kesatuan visi dan komitmen yang jelas, mereka bisa kehilangan momentum dalam upaya menghadapi krisis iklim yang semakin mendesak.