Teknologi Kimia Diterapkan untuk Pelestarian Cagar Budaya

JAKARTA, sustainlifetoday.com – Cagar budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui.
Upaya pelestarian, menjadi sesuatu yang mutlak dilakukan. Tujuannya agar nilai dan makna yang terkandung di dalam cagar budaya bisa dipertahankan dan dilestarikan selestari-tarinya.
Namun, tak seluruh cagar budaya yang hanya sebagian kecil sampai di tangan kita itu bisa dipertahankan dan dilestarikan. Ada beragam tantangan yang datang silih berganti seiring bergulirnya waktu.
Mulai dari iklim, modernisasi, perkembangan teknologi yang berimplikasi pada perubahan wajah budaya, industri yang terus bergerak, kebijakan, dan masih banyak lagi yang sifatnya makro.

“Dalam skala mikro, tantangan itu justru datang dari kita sendiri, yang acap kurang tepat dalam upaya melakukan pelestarian baik dalam rupa konservasi, restorasi, maupun pemugaran dari benda cagar budaya itu sendiri. Mulai dari perencanaan, penggunaan material, pelaksanaan (terutama menyangkut aspek safety), pengawasan, dan pemeliharaan,” kata Hasanuddin, Ketua Perisai Budaya Nusantara (PBN), dalam sambutannya pada acara seminar ‘Pelestarian Cagar Budaya yang Berkelanjutan’ di Jakarta, Selasa (11/2/2025).
Baca Juga:
- Tren ‘Kabur Aja Dulu’ Menggema, Apa Maknanya?
- Fokus pada Keselamatan, MCN Siap Jadi Vendor Terdepan untuk Proteksi Petir dan Grounding
- Upah Tak Dibayar hingga Terhentinya Operasional Lembaga, Ini Dampak Efisiensi Anggaran
“Upaya pelestarian cagar budaya sejatinya patut memperhatikan keseimbangan antara kepentingan akademis, ideologis, nasionalis, dan ekonomis, demi keberlanjutan cagar budaya itu sendiri,” sambungnya.
Teknologi Kimia
Seminar menghadirkan delapan pemateri dari disiplim ilmu berbeda dan lintas profesi. Seorang di antaranya adalah Sugiarto Goenawan, ahli kimia jebolan Universitas FH Reutlingen, Jerman.
Dalam pemaparannya, Sugiarto mengatakan bahwa teknologi kimia berperan penting dalam pelestarian cagar budaya. Ia menjelaskan bagaimana penggunaan material kimia yang tepat dapat melindungi cagar budaya dari berbagai kerusakan bahkan bisa melanggengkan usianya.
Sugiarto memaparkan bagaimana teknologi kimia dalam rupa plaster, cat, densifier, dan fire proof, berperan penting dalam pelestarian cagar budaya.
Pada kesempatan itu, ia mengambil studi kasus dalam pemugaran benteng Fort Willem I (Pendem) Ambarawa di Jawa Tengah. “Pemugaran benteng Pendem Ambarawa dilakukan dengan menggunakan plaster berpori atau plaster bernapas (breathable plaster),” kata Sugiarto.
Ia menganalogikan plaster bernapas sebagai kain katun rajutan renggang, sedangkan plasteran semen pasir sebagai kain katun rajutan rapat. “Plaster semen pasir bersifat padat dan kuat serta tidak bisa bernapas. Sedangkan plaster berpori atau bernapas memiliki rongga udara, lebih ringan, bisa mengeluarkan uap air (garam), dan bisa menampung garam dalam jumlah tertentu,” katanya.
Plaster bernapas memungkinkan plasteran tetap kering sampai kapanpun, tidak lembab, sehingga tidak jamuran. Jamur merupakan musuh utama pada bangunan cagar budaya yang dimakan usia.
Cat Silikat
Untuk teknologi kimia berupa cat, ia merekomendasikan penggunaan cat silikat untuk pelestarian bangunan cagar budaya. Cat silikat ditemukan di Jerman Selatan pada 1880.
Baca Juga:
- Ketua IAAI: Pelestarian Cagar Budaya Berkelanjutan Butuh Keterlibatan Banyak Pihak
- Resmi! Ini Jadwal Cuti Bersama Lebaran 2025
- Webinar Internasional Bahas Pentingnya QHSE dalam Produktivitas Konstruksi
Silikat adalah mineral, matt, tidak membentuk film, melainkan bereaksi dan menyatu dengan mineral pada plaster/acian, sehingga berpori dan bernapas.
Namun, katanya, tidak semua cat silikat memiliki karakteristik sama karena formulasi dan bahan tambahannya bisa berbeda. “Perbedaan ini memengaruhi performa cat silikat,” katanya.
Cat silikat juga tidak bisa digunakan untuk pelestarian bangunan Indis yang dibangun sebelum tahun 1880 atau 1900. Untuk bangunan cagar budaya yang berasal dari dekade ini, Sugiarto merekomendasikan agar menggunakan cat kapur. Hal ini terkait dengan keaslian (authenticity) bangunan.
Menimbang fungsi dan keaslian, maka seharusnya bangunan Cagar Budaya menggunakan cat kapur. Tetapi diberi sentuhan teknologi yang membuat cat kapur tidak ngapur, mineral, matt, bernafas dan hydrophobic,” katanya.

Dikatakan, bangnan cagar budaya yang sudah berusia tua acap membuat permukaan batu/bata menjadi rapuh akibat kelembapan dan pelapukan. Untuk itu ia merekomendasikan penggunaan densifier, yang berfungsi memperkeras batu/bata yang rapuh akibat kelembapan dan pelapukan.
Densifier adalah pengeras beton silikat cair yang menciptakan reaksi kimia dalam beton. Reaksi ini menghasilkan proses yang disebut pertumbuhan kristal, yang mengisi pori-pori dan membuat seluruh permukaan lebih keras. Densifier juga mengunci debu beton, sehingga tidak akan keluar lagi saat permukaannya aus.
Fireproof
Terakhir, ia menyinggung soal pentingnya penggunaan teknologi kimia berupa cat yang tahan api (fireproof) dalam pelestarian bangunan cagar budaya.
“Kebakaran akan memusnahkan cagar budaya. Karena itu, penting untuk melindungi bangunan cagar budaya atau museum dari kebakaran dengan menggunakan cat yang bisa memadamkan api,” katanya.
Lantas, bagaimana cat fireproof ini bekerja?
“Jika suhu mencapai 200- 250°C maka lapisan cat fireproof akan mengembang 50-100 x lipat ketebalan, sambil mengeluarkan CO2 yang menghambat perambatan/pembesar an api. Penambahan ketebalan ini juga memberikan perbedaan suhu antara permukaan yang terbakar dan substat yang terlindungi. Cat fireproof bisa diaplikasikan pada kayu, besi, dan tembok,” pungkasnya.