Perubahan Iklim Bisa Mengubah Rasa Anggur di Masa Depan

Jakarta, sustainlifetoday.com — Anggur merupakan cerminan dari lanskap tempat ia tumbuh. Perubahan iklim global tidak hanya mengganggu siklus musim tanam, tetapi juga mengancam karakter unik dari anggur, yaitu terroir, karakter khas hasil perpaduan tanah, cuaca, dan lokasi.
Studi global yang dipimpin Dr. Elizabeth M. Wolkovich dari University of British Columbia mengungkap bahwa wilayah penghasil anggur di seluruh dunia tengah menghadapi tekanan besar. Dari Burgundy hingga Napa Valley, lonjakan suhu, gelombang panas, dan perubahan pola hujan telah mempercepat pematangan buah, menurunkan keasaman, serta mengubah profil rasa. Bagi petani anggur dan pencinta lingkungan, ini bukan hanya soal rasa, tetapi sinyal kritis tentang kerentanan sektor pertanian terhadap krisis iklim.
“Sebagai seseorang yang telah berkunjung ke Eropa selama lebih dari 15 tahun, saya menyaksikan langsung meningkatnya gelombang panas. Namun ketika melihat data, saya terkejut melihat seberapa besar perubahan yang sebenarnya terjadi,” ujar Dr. Wolkovich.
Anggur adalah tanaman yang sangat sensitif terhadap suhu. Tidak seperti tanaman musiman, kebun anggur membutuhkan investasi jangka panjang. Suhu yang makin tinggi membuat anggur matang lebih cepat, menghasilkan kadar gula dan alkohol lebih tinggi tetapi mengorbankan keasaman dan kompleksitas rasa.
Dalam studinya yang dipublikasikan di jurnal PLOS Climate, Dr. Wolkovich dan tim menganalisis lebih dari 500 varietas anggur dari 620 wilayah tanam di dunia. Mereka menggunakan 10 indikator iklim seperti suhu saat dormansi, suhu ekstrem saat pertumbuhan, dan curah hujan menjelang panen. Salah satu temuan paling mengejutkan adalah bahwa suhu tinggi menunjukkan perubahan.
Baca Juga:
- China, Jepang, Korsel Berebut Pengaruh Energi Bersih di ASEAN
- DPR Dukung Implementasi Biodiesel B50 di Tahun 2026
- Julian Assange Kenakan Kaos Bertuliskan 4.986 Nama Anak Korban Serangan Gaza
Wilayah Eropa menjadi yang paling terdampak, dengan suhu maksimum saat musim tanam meningkat lebih dari 2°C dan jumlah hari di atas 35°C melonjak drastis. Bordeaux, Burgundy, dan Rhône Valley kini menghadapi tantangan baru: anggur yang matang terlalu cepat dengan keseimbangan rasa yang berubah. Sementara itu, Afrika Utara dan Asia Barat juga terdampak, meskipun peningkatan suhu tidak setajam Eropa. Namun, karena kondisi awalnya sudah panas, risiko seperti kebakaran dan stres tanaman jadi lebih besar.
Tim peneliti juga menilai peran varietas dalam menghadapi perubahan ini. Hasilnya menunjukkan bahwa wilayah yang menanam varietas beragam seperti di Eropa cenderung memiliki ketahanan lebih baik. Namun ke depan, semua wilayah perlu mempertimbangkan varietas yang lebih lambat matang dan tahan panas sebagai strategi adaptasi.
Sebagian besar model iklim hanya fokus pada awal dan akhir musim tanam. Padahal, proses penting seperti berbunga dan veraison (perubahan warna buah) sangat dipengaruhi suhu dan ketersediaan air. Dr. Wolkovich menyerukan pentingnya riset lebih lanjut pada tahapan ini.
Sebagian besar model iklim hanya fokus pada awal dan akhir musim tanam. Padahal, proses penting seperti berbunga dan veraison (perubahan warna buah) sangat dipengaruhi suhu dan ketersediaan air.
Dr. Wolkovich menyerukan pentingnya riset lebih lanjut pada tahapan ini.
“Kami tidak hanya mendokumentasikan perubahan,” tuturnya.
“Kami mengundang cara berpikir baru untuk melindungi dan merawat tanaman yang begitu penting secara budaya dan ekonomi,” lanjut Dr. Wolkovich.
Dr. Wolkovich mengatakan, fenomena ini menjadi pengingat bahwa perubahan iklim membutuhkan respons yang cepat dan berbasis ilmu pengetahuan. Tidak cukup hanya dari sisi tanaman. Teknologi prediksi cuaca, pengelolaan air yang efisien, dan praktik pertanian regeneratif juga menjadi bagian dari solusi.