Rencana AS Hapus Batas Emisi Batu Bara dan Gas Picu Banyak Kekhawatiran

Jakarta, sustainlifetoday.com — Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (Environmental Protection Agency/EPA) tengah menyusun rencana kontroversial: menghapus ambang batas emisi karbon untuk pembangkit listrik berbasis batu bara dan gas. Langkah ini memicu keprihatinan luas di kalangan pemerhati lingkungan, mengingat sektor energi fosil merupakan penyumbang utama emisi gas rumah kaca global.
Menurut juru bicara EPA, rencana ini muncul sebagai respons terhadap kekhawatiran bahwa regulasi emisi sebelumnya dianggap mengganggu pasokan listrik yang terjangkau dan meningkatkan ketergantungan pada energi impor.
“Banyak yang mengemukakan kekhawatiran bahwa regulasi batas emisi pada pemerintahan sebelumnya akan menghalangi kehadiran listrik yang terjangkau di AS dan meningkatkan ketergantungan pada sumber energi impor. Atas pertimbangan ini, EPA menyusun proposal rencana baru,” ujar juru bicara EPA, dikutip dari Reuters, Senin (26/5).
Rencana perubahan ini pertama kali dilaporkan oleh The New York Times, yang mengungkap bahwa EPA menilai emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca dari pembangkit berbahan bakar fosil tidak lagi berkontribusi signifikan terhadap polusi berbahaya atau perubahan iklim dengan alasan bahwa kontribusi sektor ini terhadap emisi global telah menurun.
Baca Juga:
- Ecoplease Hadirkan Solusi Kemasan Tanpa Mikroplastik, Dorong Industri F&B Lebih Ramah Lingkungan
- DPR Dukung Implementasi Biodiesel B50 di Tahun 2026
- Segara Naturals Hadirkan Produk Perawatan Diri Ramah Lingkungan, Solusi Bersih untuk Kulit dan Bumi
Lebih jauh, EPA menyatakan bahwa penghapusan batas emisi dari sektor pembangkit listrik fosil tidak akan berdampak besar terhadap kesehatan dan kesejahteraan publik. Klaim ini bertolak belakang dengan temuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menyebut bahwa bahan bakar fosil, termasuk minyak, gas, dan batu bara yang merupakan penyebab utama krisis iklim global. Sekitar 75% emisi gas rumah kaca global dan hampir 90% emisi karbon dioksida berasal dari pembakaran energi fosil.
Langkah EPA ini selaras dengan kebijakan administrasi Presiden Donald Trump yang sejak masa jabatan pertamanya telah berkomitmen untuk melepas berbagai regulasi terkait perubahan iklim. Upaya deregulasi tersebut kembali diperkuat lewat paket kebijakan fiskal terbaru yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat AS pada Kamis lalu.
Paket anggaran tersebut menghapus berbagai insentif dan subsidi untuk energi bersih, termasuk pendanaan dari Inflation Reduction Act, undang-undang warisan pemerintahan sebelumnya yang mendukung energi terbarukan, pengurangan emisi, dan elektrifikasi transportasi.
Jika rencana ini berjalan, maka subsidi kendaraan listrik, dana pengurangan polusi udara, serta insentif untuk sektor energi bersih bisa hilang dalam waktu dekat.
“Kami terus melanjutkan kemajuan terkait hal itu sekarang,” ujar Administrator EPA, Lee Zeldin, merujuk pada pencabutan kebijakan pengendalian polusi karbon dari pembangkit listrik.
Langkah ini menjadi sorotan tajam di tengah upaya global untuk menjaga target suhu 1,5°C sesuai Kesepakatan Paris. Banyak pihak khawatir bahwa keputusan ini akan memperlambat transisi energi bersih, memperburuk krisis iklim, dan menciptakan preseden negatif bagi kebijakan lingkungan negara lain.