Konsumsi Daging Sebabkan Krisis Iklim? Ini Faktanya!

Jakarta, sustainlifetoday.com – Pernahkan Sustain Peeps membayangkan jika satu burger daging sapi yang kita santap membutuhkan lebih dari 2.500 liter air untuk diproduksi? Ini setara dengan konsumsi air seseorang selama dua minggu.
Tidak hanya itu, industri peternakan juga menyumbang 14,5% dari total emisi gas rumah kaca global, lebih besar dari gabungan sektor transportasi udara dan laut. Namun, meskipun dampak ini nyata, konsumsi daging masih terus meningkat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Gas rumah kaca utama yang dihasilkan dari peternakan adalah metana (CH₄), karbon dioksida (CO₂), dan dinitrogen oksida (N₂O). Metana merupakan gas rumah kaca yang 25 kali lebih kuat dalam menjebak panas dibandingkan CO₂. Gas ini terutama berasal dari proses pencernaan ternak ruminansia seperti sapi dan kambing melalui fermentasi enterik di saluran pencernaan mereka. Selain itu, kotoran hewan ternak yang menumpuk juga menjadi sumber utama emisi metana.
Selain itu, produksi pakan ternak juga berkontribusi terhadap emisi karbon yang signifikan. Proses penanaman, panen, dan distribusi pakan seperti kedelai dan jagung membutuhkan penggunaan bahan bakar fosil dalam jumlah besar. FAO mencatat bahwa sekitar 45% dari total emisi peternakan berasal dari produksi dan pengolahan pakan ternak.
Konsumsi daging juga terkait erat dengan deforestasi dan degradasi lahan. Untuk memenuhi permintaan global akan daging, lahan dalam jumlah besar dikonversi menjadi area peternakan atau ladang untuk menanam pakan ternak.
Baca Juga:
- Konversi Hutan untuk Bioetanol, Efektif atau Berisiko?
- Cara Efektif Kurangi Tagihan Listrik dan Jejak Karbon di Rumah
- Mengenal Mikroplastik, Ancaman bagi Kesehatan Manusia
Di Brasil, misalnya, sekitar 80% deforestasi di hutan Amazon terjadi akibat perluasan lahan peternakan. Data dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa setiap tahun, jutaan hektar hutan ditebang untuk mendukung industri peternakan. Padahal, hutan berperan penting dalam menyerap karbon dioksida dari atmosfer dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Deforestasi juga mempercepat hilangnya keanekaragaman hayati. Banyak spesies flora dan fauna kehilangan habitatnya akibat alih fungsi lahan untuk peternakan. Hal ini dapat mengganggu rantai makanan dan ekosistem yang telah terbentuk selama ribuan tahun.
Selain emisi gas rumah kaca dan deforestasi, industri peternakan juga menyedot sumber daya air dalam jumlah besar. Menurut penelitian dari Water Footprint Network, produksi satu kilogram daging sapi membutuhkan sekitar 15.400 liter air, jauh lebih tinggi dibandingkan produksi satu kilogram gandum yang hanya membutuhkan 1.600 liter air.
Air digunakan dalam berbagai tahap produksi daging, mulai dari pemberian minum ternak, irigasi untuk tanaman pakan, hingga proses pengolahan dan distribusi. Selain konsumsi air yang tinggi, industri peternakan juga menyebabkan pencemaran air akibat pembuangan limbah kotoran ternak dan penggunaan pupuk kimia dalam produksi pakan.
Sungai dan danau di sekitar peternakan intensif sering kali mengalami eutrofikasi, yaitu peningkatan kadar nutrien yang menyebabkan pertumbuhan alga berlebihan. Alga ini dapat mengurangi kadar oksigen dalam air, menyebabkan kematian massal ikan dan hewan air lainnya.
Lalu bagaimana mengurangi dampak lingkungan dari konsumsi daging?
Para ahli sepakat bahwa mengurangi konsumsi daging, terutama daging merah, dapat membantu menekan emisi gas rumah kaca dan memperlambat laju perubahan iklim.
Dr. Keren Papier, peneliti dari Universitas Oxford, menyatakan bahwa pola makan fleksitarian, di mana seseorang mengurangi konsumsi daging tanpa harus menjadi vegetarian atau vegan sepenuhnya dapat mengurangi hingga 70% dampak lingkungan dibandingkan dengan pola makan tinggi daging.
“Langkah sederhana seperti mengurangi porsi daging dalam makanan harian dan menggantinya dengan sumber protein nabati seperti kacang-kacangan dan tahu bisa memberikan dampak besar dalam jangka panjang,” ujar Dr. Papier.
Di Indonesia, kampanye untuk mengurangi konsumsi daging mulai mendapat perhatian. Beberapa restoran dan gerai makanan mulai menawarkan menu berbasis nabati sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan. Gerakan seperti Meatless Monday atau hari tanpa daging juga mulai populer di kalangan masyarakat yang peduli lingkungan.
Selain mengurangi konsumsi daging, mendukung peternakan yang lebih berkelanjutan juga dapat menjadi solusi. Misalnya, memilih daging dari peternakan organik yang menerapkan sistem rotasi lahan untuk mengurangi degradasi tanah dan pencemaran lingkungan.
Dengan kesadaran dan perubahan gaya hidup, kita dapat membantu mengurangi tekanan terhadap bumi dan menjaga keseimbangan ekosistem untuk generasi mendatang.
Baca Juga: