Kriminalisasi Aktivis Lingkungan Global Makin Marak, Apa yang Salah?

Jakarta, sustainlifetoday.com — Ketika suhu global terus meningkat, gelombang perlawanan terhadap krisis iklim pun menguat. Namun, respons dari banyak negara justru semakin represif: para aktivis lingkungan kini dihadapkan pada denda fantastis, hukuman penjara, hingga ancaman hukum yang bersifat intimidatif.
Di Newcastle, Australia, akhir 2024 lalu, ratusan aktivis iklim dari gerakan Rising Tide memblokir pelabuhan batu bara terbesar di dunia. Dengan kayak dan semangat perlindungan planet, mereka menghentikan kapal batu bara sebagai simbol perlawanan terhadap proyek bahan bakar fosil yang kian mempercepat krisis iklim.
Aksi damai tersebut berujung penangkapan lebih dari 170 orang. Mereka dituduh mengganggu infrastruktur publik dan menghadapi denda hingga 233 juta rupiah atau dua tahun penjara, berdasarkan Undang-Undang Anti-Protes yang disahkan negara bagian New South Wales (NSW) sejak 2022.
Menurut para pengamat, hukum ini digunakan hampir secara eksklusif untuk menekan suara-suara yang menuntut keadilan iklim. Padahal, banyak dari aksi tersebut dilakukan secara damai dan terbuka.
“Undang-undang ini bukan sekadar regulasi, tapi senjata hukum yang diarahkan pada perlawanan sipil,” ujar Zack Schofield, juru bicara Rising Tide.
Tren yang sama juga terjadi secara global. Di Inggris, aktivis Just Stop Oil menghadapi tuntutan penjara hingga lima tahun. Di Jerman, kelompok iklim Letzte Generation bahkan dituduh membentuk “organisasi kriminal”—label yang sebelumnya hanya digunakan untuk jaringan mafia. Di Belanda, undang-undang anti-teror turut digunakan untuk membungkam blokade jalan oleh aktivis iklim.
Baca Juga:
- Studi Ungkap Ruang Hijau Bisa Kurangi Kebiasaan Merokok
- Perubahan Iklim Bisa Mengubah Rasa Anggur di Masa Depan
- Studi: Perubahan Iklim Ancam 25% Spesies Hewan Global
Menurut laporan Amnesty International dan University of Bristol, gelombang kriminalisasi terhadap pembela lingkungan kini merambah ke 21 negara di Eropa. Bahkan di Amerika Serikat, organisasi lingkungan Greenpeace dijatuhi tuntutan ganti rugi sebesar Rp10,8 triliun atas blokade pipa minyak, sebuah bentuk Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) yang bisa menghentikan operasional mereka secara permanen.
Kriminalisasi ini juga beriringan dengan kekerasan fisik. Antara 2012 hingga 2023, setidaknya 2.000 pembela lingkungan dibunuh. Brasil dan Filipina mencatat angka korban tertinggi.
Apakah ini berarti hukum kini menjadi alat pelindung industri bahan bakar fosil? Banyak peneliti dan pengamat membenarkan hal ini.
Oscar Berglund, dosen di University of Bristol, menyebut para pengunjuk rasa sebagai ancaman langsung bagi profit industri energi kotor.
“Undang-undang dirancang bukan untuk keadilan, tapi untuk menjaga kepentingan,” ujarnya.
Namun, para pembela lingkungan tak gentar. Di tengah ancaman hukum, mereka tetap menyuarakan bumi.
“Jika hukumannya tidak proporsional, kami akan banding. Ini adalah ujian bagi demokrasi dan keadilan iklim,” tegas Zack Schofield.
Gerakan iklim global kini tak hanya memperjuangkan planet yang lestari, tetapi juga hak untuk bersuara tanpa rasa takut dibungkam oleh sistem yang mestinya melindungi, bukan mengintimidasi.