Supply dan Demand Terbatas, Bursa Karbon RI Masih Sepi

JAKARTA, sustainlifetoday.com – Perdagangan karbon menjadi salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi emisi karbon. Namun, perdagangan karbon di Indonesia masih terhambat oleh terbatasnya supply dan demand, sehingga belum berkembang menjadi pasar dengan volume transaksi besar atau likuid.
“Ya kan pertanyaannya adalah kenapa bursa karbon di Indonesia enggak likuid? Ya karena dua, supply-nya juga terbatas, demand-nya enggak ada. Kalau melihat yang beli bursa karbon siapa? Itu kan cuma BUMN-BUMN itu kan, kan enggak beli. BUMN itu nanti prosesnya ke depan ada lagi enggak? Ada, tapi limited,” kata Direktur Kepatuhan BRI, Achmad Solichin Lutfiyanto di Jakarta, Kamis (12/9).
Solichin menjelaskan, sebagian besar transaksi di bursa karbon dilakukan oleh sektor perbankan. Meskipun demikian, emisi yang dihasilkan oleh sektor perbankan tidak cukup besar dan dapat dikurangi melalui penerapan Environmental, Social, dan Governance (ESG) di kantornya.
“Siapa yang beli? Banyakan bank. Berapa sih emisi yang dikerjakan, yang dihasilkan oleh bank dari kantornya? Emisi itu kan juga bisa ditekan dari aktivitas bank itu sendiri gitu,” jelasnya.
Solichin berpendapat bahwa untuk menarik lebih banyak pasar, perlu melibatkan perusahaan dengan emisi karbon tinggi. Menurutnya, sejauh ini perusahaan-perusahaan tersebut belum berpartisipasi dalam transaksi di bursa karbon. Masalah ini dapat diatasi melalui edukasi dan ajakan pihak berwenang.
“Kita buka pasar karbon dibuat siapa? Siapa demand? Siapa supply? Itu karena nggak clear pasarnya, nggak likuid. Pasarnya ya sudah biarkan seperti sekarang. Menambah supply, itu memang model bisnisnya butuh menghasilkan karbon besar kan harus. Nah, itu yang harus diedukasi supaya dia beli. Bukan, bank, ya kalau bank disuruh beli, ya beli aja gitu,” kata Solichin.