Mendulang Peluang ESG dari Kebijakan Trump

Bali, sustainlifetoday.com – Kebijakan Presiden Donald Trump di hari pertama periode kedua kepemimpinan Amerika Serikat, sontak menyulut riak se-jagat raya.
Sesaat setelah dilantik menjadi Presiden AS ke-47, Trump langsung mendeklarasikan darurat energi nasional.
Trump menyerukan peningkatan produksi migas untuk menanggulangi krisis harga tinggi energi di sana.
“Amerika Serikat memiliki jumlah minyak dan gas bumi terbesar dibandingkan negara manapun di dunia. Kita akan memanfaatkan hal ini. Kita akan kembali menjadi negara kaya, dan emas cair di tanah yang kita pijak inilah yang akan membantu kita mencapainya,” kata Trump dalam pidatonya, sebagaimana dikutip Bloomberg.
Kebijakan itu sontak memantik reaksi hebat dari seluruh dunia. Apalagi, Amerika Serikat mengundurkan diri dari Paris Agreement.
Baca juga:
- Greenwashing, Praktik Kotor Promosi ESG & Keberlanjutan
- Rektor ITPB: ESG dan Sustainability Penting untuk Dunia Pendidikan
- Ini Kata Menteri Lingkungan Hidup Era 1999-2001 di Indonesia Sustainable Business Forum (ISBF) 2025
Pentolan Partai Republik ini mengajak dunia untuk kembali ke bahan bakar fosil, di saat seluruh dunia sepakat meninggalkannya.
“Kebijakan Trump yang mendukung bahan bakar fosil menciptakan ketidakstabilan pasar energi global,” kata Dr Dewi Hanggraini, MBA, GRCE, saat ditemui usai menjadi pemateri dalam acara Forum Group Discussion (FGD) Indonesia Sustainable Business Forum (ISBF) 2025 di Nusa Dua, Bali, Kamis (23/1/2025).
Pasar global memang langsung bereaksi atas kebijakan Trump. Tak hanya pasar Migas, tapi juga berimbas pada pasar non-migas seperti perusahaan-perusahaan baterai, kendaraan listrik, dan energi terbarukan.
Menurut Dewi, keputusan Amerika Serikat yang mengundurkan diri dari Paris Agreement merupakan pelemahan agenda global keberlanjutan.
“Pengunduran diri AS dari Paris Agreement pada masa Trump melemahkan komitmen global terhadap pengurangan emisi karbon. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan dalam alokasi investasi hijau secara global,” kata Dewi.
Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis dan Fakultas Komunikasi dan Diplomasi Universitas Pertamina ini menjelaskan, kebijakan Trump akan berdampak pada investasi dan kebijakan ESG.
Pertama, katanya, penurunan tekanan global terhadap perusahaan multinasional untuk mengadopsi praktik ESG.
Kedua, pasar berkembang, termasuk Indonesia, kehilangan dorongan internasional untuk mempercepat inisiatif keberlanjutan.
Mendulang Peluang
Lantas, bagaimana pengaruh kebijakan Trump terhadap penerapan ESG di Indonesia?
Menurut Dewi, setidaknya ada tiga hal. “Pertama, ketergantungan global pada energi fosil akan memperlambat adopsi energi terbarukan di Indonesia. Ini dampak yang akan dirasakan terhadap komitmen iklim,” kata Dewi.
Kedua, dalam bidang investasi hijau, Indonesia menghadapi kesenjangan pendanaan proyek hijau akibat minimnya dorongan global.
Ketiga, terkait eksploitasi sumber daya. Perusahaan multinasional cenderung mengutamakan keuntungan daripada keberlanjutan.
Toh, Dewi menggarisbawahi bahwa kebijakan Trump itu sekaligus mendatangkan peluang bagi Indonesia.
“Indonesia dapat mengambil peran strategis sebagai pemimpin ESG di Asia Tenggara. Selanjutnya Indonesia berpeluang memanfaatkan momentum untuk mempercepat transisi energi dan ekonomi hijau,” Dewi menegaskan.
Karena itu, dalam banyak kesempatan, Dewi selalu menggelorakan kampanye akan penerapan ESG di Indonesia.
“Ayo kita sama-sama menggelorakan kampanye dan memasifkan sosialisasi akan ESG di Indonesia,” ajaknya.
Tentang FGD ISBF 2025
ISBF 2025 diselenggarakan oleh SustainLife Today, sebuah platform media yang berfokus pada isu keberlanjutan di Indonesia.
Mengusung tema “Accelerating ESG Adoption Across Sectors for a Sustainable 2025 Future,” acara ini dirancang untuk mendorong percepatan adopsi prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) di berbagai sektor industri.
Dalam sambutan pembukaannya, Ketua Penyelenggara ISBF 2025 Farhan Syah menekankan pentingnya penerapan ESG sebagai fondasi untuk menciptakan model bisnis yang berkelanjutan di Indonesia.
“Dalam beberapa tahun terakhir, ESG telah menjadi salah satu parameter yang krusial untuk mengukur kinerja bisnis yang berkelanjutan. ISBF 2025 dirancang sebagai platform strategis bagi para pemangku kepentingan untuk berbagi wawasan, mendiskusikan tantangan, serta mendorong percepatan adopsi prinsip ESG, khususnya bagi sektor dunia usaha di Tanah Air,” ujar Farhan.