Greenwashing, Praktik Kotor Promosi ESG & Keberlanjutan

Bali, sustainlifetoday.com – Pengadilan Jerman pada Juni 2018 menjatuhkan denda 1,2 miliar dolar AS atau setara Rp16,7 triliun kepada Volkswagen AG atas perkara ‘Dieselgate.’
Perusahaan otomotif raksasa asal Jerman itu mengaku telah menginstal perangkat lunak yang dapat menipu hasil uji emisi pada 11 juta kendaraannya di seluruh dunia.
Selain VW, beberapa anak merek lain yang terkena imbasnya adalah Audi, Porsche, Skoda, dan Seat.
Mobil-mobil tersebut terbukti mengeluarkan zat berbahaya di luar ambang batas sehingga dapat menyebabkan penyakit sakit pernapasan dan jantung.
VW telah berjanji akan memperbaiki seluruh kendaraan dengan cara mengganti perangkat lunaknya tersebut.
Baca juga:
- Fokus pada Akselerasi Adopsi ESG, Indonesia Sustainable Business Forum 2025 Sukses Digelar!
- PP Muhammadiyah Laporkan 7 Nama untuk Kasus Pagar Laut
- Swasembada Energi Jadi Prioritas, Prabowo Titah Bahlil Tingkatkan Lifting Minyak hingga 1 Juta Barel
Skandal Dieselgate VW merupakan satu dari sekian banyak contoh praktik greenwashing bidang lingkungan (Environmental) di dunia.
Selain VW, pada 2021, Shell mengiklankan sebagai perusahaan ramah lingkungan dengan investasi dalam energi terbarukan.
“Tetapi 90% investasinya tetap dalam bahan bakar fosil,” kata Herry Ginanjar, Founder and CEO PT Dinamika Komunika Berkelanjutan saat menjadi salah satu pemateri dalam Forum Group Discussion (FGD) Indonesia Sustainable Business Forum (ISBF) 2025 yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, 22 – 23 Januari 2025.
Di bidang sosial (Social), praktik greenwashing pernah dilakukan PT Nestle pada 2018. Kala itu Nestle mengklaim produk air kemasan sebagai ‘berkelanjutan’. “Padahal operasi produksinya merusak sumber daya air di beberapa wilayah,” kata Herry.
Sedangkan di bidang tata kelola (Governance), Herry mencontohkan kasus yang pernah dilakukan British Petroleum (BP).
Pada 2020, BP mengklaim sebagai perusahaan yang “menuju net zero.” Laporan menunjukkan emisi karbon tetap tinggi dan tidak ada target jangka pendek yang jelas.
Co-Founder Komunitas ESG Indonesia ini mengatakan bahwa kasus greenwashing tidak sedikit dilakukan oleh perusahaan-perusahaan raksasa dunia. Selain VW, Shell, dan BP, praktik serupa juga pernah dilakukan H & M, McDonald’s, Starbuck, Tesla, Chevron, dan masih banyak lagi.
Apa Itu Greenwashing?
Lalu, apa itu greenwashing dan mengapa praktik kotor ini banyak dilakukan?
“Greenwashing adalah suatu bentuk periklanan atau pemasaran di mana green PR dan green marketing digunakan untuk membujuk publik bahwa produk, tujuan, dan kebijakan suatu organisasi ramah lingkungan,” kata Herry.
“Perusahaan yang dengan sengaja menggunakan strategi komunikasi greenwashing sering kali melakukannya untuk menjauhkan diri dari pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh mereka sendiri atau pemasok mereka,” sambungnya.
Praktik greenwashing sejatinya sangat berpotensi menghancurkan kredibilitas perusahaan yang melakukannya. Kendati demikian, praktik tersebut tetap saja banyak dilakukan.

Herry mengingatkan tentang pentingnya transparansi dalam ESG (Environmental, Social, and Governance).
- Membangun Kepercayaan dengan Pemangku Kepentingan
Transparansi memungkinkan perusahaan menunjukkan komitmen mereka terhadap ESG secara jujur dan terbuka, meningkatkan kepercayaan pelanggan, investor, regulator, dan masyarakat luas. Kepercayaan ini terbentuk melalui penyampaian informasi yang akurat, relevan, dan berbasis data, yang mencerminkan upaya nyata perusahaan
- Meningkatkan Akuntabilitas dan Kinerja
Dengan melaporkan target, kemajuan, serta tantangan secara transparan, perusahaan tidak hanya meningkatkan akuntabilitas internal tetapi juga menciptakan tolok ukur untuk evaluasi. Penggunaan standar pelaporan ESG internasional, seperti Global Reporting Initiative (GRI) atau Sustainability Accounting Standards Board (SASB), membantu memastikan informasi yang disampaikan konsisten dan dapat dipercaya.
- Memitigasi Risiko Reputasi dan Greenwashing
Transparansi yang baik melindungi perusahaan dari tuduhan greenwashing dengan menunjukkan data dan metode secara terbuka. Hal ini memperkuat reputasi perusahaan sebagai entitas yang bertanggung jawab dan memposisikannya lebih kompetitif di pasar.
Herry mencontohkan penggunaan kata ‘ramah lingkungan’ yang sering digunakan dalam ESG. Penggunaan kata itu tidak salah, namun kurang tepat.
Menurutnya, kata-kata ‘alami’ dan ‘ramah lingkungan’ tidak memiliki arti yang jelas.
Sebaiknya, kata Herry, penggunaan kata ‘ramah lingkungan’ disertai pula dengan penjelasannya secara rinci.