Krisis Iklim Ancam Keberlangsungan Ribuan Spesies Amfibi di Dunia

Jakarta, sustainlifetoday.com — Sebuah studi baru yang diterbitkan di Nature mengungkapkan bahwa sekitar 2% spesies amfibi dunia seperti katak dan salamander kini hidup dalam suhu yang melebihi kemampuan fisiologis mereka. Jika tren pemanasan tidak ditekan, angka ini bisa melonjak menjadi 7,5% pada akhir abad ini.
Penelitian ini, yang dipimpin oleh ilmuwan dari University of New South Wales, melibatkan data termal dari lebih dari 5.000 spesies amfibi dan memperkirakan titik-titik risiko kepanasan di seluruh dunia, termasuk di Amazon, Australia utara, dan tenggara Amerika Serikat.
“Sekitar 104 spesies dari 5.203 yang diteliti kemungkinan besar sedang mengalami overheating, dimana suhu lingkungan mereka telah melampaui batas toleransi tubuh,” kata Alex Gunderson, penulis studi dari Tulane University dilansir Mongabay pada Senin (2/6).
Kehilangan amfibi tidak hanya soal berkurangnya keanekaragaman hayati. Amfibi memegang peran penting dalam rantai makanan dan keseimbangan ekosistem. Mereka menjadi mangsa burung, ikan, dan mamalia—serta memangsa nyamuk dan serangga lain yang berpotensi menyebarkan penyakit.
“Penurunan populasi amfibi dapat berdampak langsung pada kesehatan manusia,” ujar Gunderson, mengutip studi tahun 2020 yang menemukan korelasi antara menurunnya populasi amfibi di Amerika Tengah dan meningkatnya kasus malaria.
Baca Juga:
- Penelitian Ungkap Kucing Bisa Bedakan Bau Pemiliknya
- Krisis Iklim Picu Lonjakan Risiko Kanker untuk Perempuan
- KLH Serukan Idul Adha 2025 Bebas Sampah Plastik
Penelitian ini menunjukkan bahwa spesies darat lebih rentan terhadap panas dibandingkan yang hidup di air. Menariknya, spesies pohon atau arboreal memiliki risiko lebih rendah karena habitat mereka sedikit lebih sejuk dibanding permukaan tanah.
Namun, yang mengejutkan para peneliti adalah pola geografis yang tidak konsisten. Di belahan Bumi selatan, spesies tropis memang lebih rentan seperti yang diduga. Namun di belahan Bumi utara, spesies lintang tinggi justru menunjukkan kerentanan lebih besar terhadap stres panas.
“Kami belum menemukan penjelasan pasti untuk pola ini,” tambah Gunderson.
Proyeksi dalam studi ini tergolong konservatif karena mengasumsikan bahwa semua amfibi dapat menemukan tempat teduh, terutama di habitat yang sudah terganggu aktivitas manusia.
“Jika kita bisa melindungi dan memulihkan tutupan vegetasi dan badan air, banyak spesies bisa bertahan dari gelombang panas ekstrem,” kata Patrice Pottier, penulis utama studi.
Laporan ini mengirimkan sinyal kuat bagi para pemangku kepentingan dalam sektor keberlanjutan. Krisis iklim tidak hanya menyasar manusia dan industri, tetapi secara langsung menghantam pondasi ekosistem.
“Penelitian seperti ini sangat penting untuk menentukan lokasi dan spesies prioritas dalam konservasi global,” ujar Rayna C. Bell dari California Academy of Sciences, yang tidak terlibat dalam studi.
Dalam dunia yang semakin panas, mempertahankan keberadaan spesies amfibi bukan hanya soal menyelamatkan hewan, tetapi tentang menjaga ketahanan ekologis yang menopang kehidupan manusia. Komitmen terhadap aksi iklim, termasuk pelestarian habitat, reforestasi, dan dekarbonisasi harus menjadi agenda bersama lintas sektor.