Indonesia Berpotensi Raup Rp 29 Triliun Jika Percepat Transisi Energi Terbarukan

Jakarta, sustainlifetoday.com — Indonesia berpeluang meraih manfaat ekonomi hingga US$1,8 miliar atau sekitar Rp29,35 triliun jika berhasil mempercepat pengembangan energi terbarukan dan memperbaiki kebijakan pendukung transisi energi. Temuan ini disampaikan Asia Clean Energy Coalition (ACEC) dalam laporan terbarunya bertajuk Asia’s Clean Energy Breakthrough: Unlocking Corporate Procurement for Sustainable Growth.
Direktur Program ACEC, Suji Kang, menjelaskan bahwa potensi tersebut sejalan dengan meningkatnya permintaan energi bersih dari perusahaan-perusahaan global yang beroperasi di kawasan Asia-Pasifik.
“Pergeseran mendasar sedang terjadi dalam geografi permintaan energi terbarukan oleh perusahaan swasta, dan Asia berada di tengah-tengah transisi ini,” ujar Suji dalam keterangannya, Rabu (4/6).
Indonesia dinilai memiliki potensi besar dalam sumber energi terbarukan, khususnya tenaga surya dan angin. Namun, data menunjukkan 81% pasokan listrik nasional masih berasal dari energi fosil.
Baca Juga:
- Mobil Listrik Rp966 Juta untuk Pejabat, Komitmen Hijau atau Pemborosan?
- UI dan Monash University Teliti Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan
- Pembangunan Ekosistem Baterai Listrik CATL-IBC Dimulai Juni 2025
Proyek penambahan kapasitas energi terbarukan pun masih tergolong minim, meskipun pemerintah menargetkan tambahan kapasitas 21 GW dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021–2030.
Jika bauran energi terbarukan Indonesia meningkat menjadi 29% pada 2030, ACEC memperkirakan negara ini dapat menciptakan hampir 140 ribu lapangan kerja baru, meningkatkan total upah pekerja hingga US$1,4 miliar, dan mengurangi emisi karbon sebesar 25 juta ton CO₂.
Secara regional, peningkatan kebijakan energi terbarukan di negara-negara Asia seperti Vietnam, Korea Selatan, Jepang, Indonesia, dan Singapura dapat mendongkrak Produk Domestik Bruto (PDB) kawasan sebesar US$26,86 miliar, membuka 435 ribu lapangan kerja baru, dan menaikkan total upah sebesar US$14,63 miliar.
Namun demikian, Suji menyoroti bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan signifikan.
“Arah kebijakan saat ini belum mencerminkan tingginya permintaan listrik energi terbarukan dari sektor swasta, dan mekanisme pembelian listrik oleh perusahaan masih terbatas,” jelasnya.
Untuk mengatasi hambatan tersebut, ACEC merekomendasikan pemerintah agar:
- Mencantumkan target energi terbarukan secara eksplisit dalam kebijakan nasional dan komitmen iklim,
- Mempercepat implementasi skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan transmisi,
- Membuka opsi Corporate Power Purchase Agreement (CPPA),
- Memperjelas kepemilikan Renewable Energy Certificate (REC) antara PLN dan Independent Power Producer (IPP),
- Melakukan reformasi regulasi guna menciptakan kepastian hukum dan iklim investasi yang lebih kondusif.
Kepala RE100 dan The Climate Group, Ollie Wilson, menegaskan bahwa pelaku usaha siap berkontribusi dalam transisi energi jika didukung kebijakan yang tepat.
“Untuk meningkatkan daya saing, keamanan energi, dan manfaat iklim dari energi terbarukan, pemerintah harus menciptakan lingkungan yang mendukung bagi pengadaan energi terbarukan oleh sektor swasta,” katanya.