BMKG Prediksi Fenomena Kemarau Basah Terjadi hingga Bulan Agustus

Jakarta, sustainlifetoday.com – Indonesia akan menghadapi fenomena kemarau basah hingga akhir Agustus 2025, menurut prediksi terbaru dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Tidak seperti kemarau pada umumnya yang identik dengan panas dan kekeringan, musim ini justru ditandai dengan intensitas hujan yang tetap tinggi di sejumlah wilayah.
Deputi Meteorologi BMKG, Guswanto, menjelaskan bahwa kemarau basah adalah anomali iklim yang menyebabkan musim kering tetap disertai kelembapan tinggi dan hujan yang terus berlangsung.
“Fenomena ini lebih umum disebut kemarau basah,” ujarnya, Rabu (28/5).
BMKG mencatat bahwa pada Juni 2025, sekitar 56,54% wilayah Indonesia akan terdampak kemarau basah, meningkat menjadi 75,38% pada Juli, dan mencapai 84,94% pada Agustus. Setelah itu, Indonesia akan memasuki masa peralihan (pancaroba) sebelum musim hujan dimulai pada Desember 2025.
Penyebab Kemarau Basah
Beberapa faktor utama menyebabkan kemarau basah ini, termasuk suhu permukaan laut di sekitar Indonesia yang tetap hangat, mendorong pembentukan awan dan hujan. Selain itu, pengaruh global seperti La Niña lemah dan kondisi Indian Ocean Dipole (IOD) negatif turut memperbesar tingkat kelembapan udara.
Baca Juga:
- Konsumsi Jeruk Bisa Turunkan Risiko Depresi dan Jaga Kesehatan Mental
- Daur Baur Micro Factory Ubah Sampah Plastik Jadi Furnitur dan Elemen Arsitektur Ramah Lingkungan
- Pertamina dan Perusahaan Jerman Ubah Gas Emisi Tinggi Jadi Gas Siap Jual
Gelombang atmosfer seperti Madden-Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin, dan Rossby pun ikut memperkuat pembentukan awan hujan secara tidak biasa untuk musim kemarau.
Dampak Kemarau Basah
Dampak utama dari kemarau basah dirasakan oleh sektor pertanian. Cuaca yang sulit diprediksi dan hujan deras bisa merusak tanaman musiman serta meningkatkan risiko gagal panen. Para petani disarankan untuk menyesuaikan pola tanam dan mulai mengadopsi varietas tanaman yang lebih tahan terhadap kondisi basah ekstrem.
Tak hanya itu, sektor kesehatan juga perlu waspada. Peningkatan genangan air berpotensi memicu lonjakan kasus demam berdarah dan penyakit pernapasan akibat kelembapan tinggi. Pengelolaan sanitasi dan pemberantasan sarang nyamuk menjadi kunci pencegahan.
Aktivitas masyarakat secara umum juga terdampak. Cuaca tak menentu membuat perencanaan kegiatan luar ruang semakin rumit, sehingga masyarakat diimbau untuk terus mengikuti pembaruan cuaca dari BMKG.
Adaptasi Jadi Kunci
Meskipun El Niño-Southern Oscillation (ENSO) diprediksi netral pada 2025, suhu laut yang hangat tetap dapat mengacaukan pola curah hujan. Karena itu, strategi adaptasi lintas sektor sangat dibutuhkan, termasuk edukasi iklim, infrastruktur tahan cuaca ekstrem, serta kebijakan berbasis sains.
“Masyarakat harus bersiap dengan kondisi ini. Adaptasi yang tepat dan pengelolaan yang responsif menjadi faktor kunci menghadapi kemarau basah,” tutup Guswanto.