Pergerakan Tanah dan Risiko Ekologis di Sekitar Tol Cipularang

Jakarta, sustainlifetoday.com – Meski jalan tol Cipularang dinyatakan aman, pergeseran tanah di Desa Pasirmunjul, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, mengundang perhatian soal ketahanan ekosistem dan pengelolaan kawasan rawan bencana di sekitar infrastruktur nasional.
Direktur Utama Jasa Marga, Rivan A. Purwantono, memastikan bahwa insiden pergeseran tanah tersebut tidak berdampak langsung terhadap struktur Jalan Tol Cipularang, jalur vital yang menghubungkan Jakarta dan Bandung. Ia menegaskan bahwa pengawasan dan mitigasi risiko telah dilakukan sejak laporan awal diterima, demi menjamin keamanan dan kenyamanan pengguna jalan.
“Sejak laporan pertama, tim kami bergerak cepat di lapangan dan melakukan langkah-langkah antisipatif. Kami bekerja sama dengan BPBD dan Dinas PU setempat untuk memantau kondisi tanah secara berkala,” ujar Rivan dalam keterangan tertulis yang dikutip Rabu (18/6).
Namun, di sisi lain, fakta pergeseran tanah yang terus meluas dan bersifat berulang mengindikasikan tantangan geologis yang lebih besar. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Purwakarta, peristiwa tanah bergerak terjadi sepanjang 11–14 Juni 2025, menjalar sejauh 20 meter dari titik awal dan terus bertambah setiap 10 menit.
Baca Juga:
- Terbukti Ampuh, Ini 6 Jenis Olahraga yang Bikin Awet Muda dan Panjang Umur
- KDM: Degradasi Lingkungan di Jabar Ancam Pasokan Air Bersih Jakarta dan Banten
- Kurangi Emisi, Kemenhut Terapkan Skema Offset Jejak Karbon
Tak hanya itu, puluhan makam keluarga warga di Kampung Cigintung, Desa Pasirmunjul, terpaksa dipindahkan, menyisakan duka ekologis dan kultural yang mendalam bagi masyarakat setempat.
Badan Geologi Kementerian ESDM mencatat bahwa fenomena tanah bergerak ini bukan kejadian tunggal. Setidaknya lima kali pergerakan tanah terjadi sejak April 2025, yakni pada 20 April, 23 April, 19 Mei, 21 Mei, dan terakhir 14 Juni. Pola kejadian ini menunjukkan bahwa daerah tersebut memiliki kerentanan geologis tinggi, yang harus diantisipasi dengan pendekatan jangka panjang berbasis tata ruang dan konservasi lingkungan.
Peristiwa ini menjadi pengingat penting akan kebutuhan pemetaan risiko bencana yang lebih menyeluruh, terlebih ketika pembangunan infrastruktur nasional dilakukan di wilayah dengan kondisi geologis rentan. Keseimbangan antara pembangunan dan perlindungan lingkungan harus dijaga, agar keberlanjutan dapat diwujudkan tanpa mengorbankan keselamatan masyarakat.