Kemenkeu: Indonesia Butuh Rp14.000 Triliun untuk Danai Aksi Iklim dan SDGs

Jakarta, sustainlifetoday.com — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut Indonesia membutuhkan dana sebesar Rp14.000 triliun untuk mendanai aksi iklim sekaligus mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Angka tersebut menandakan pentingnya mobilisasi pembiayaan dari berbagai sektor untuk menjawab tantangan krisis iklim.
Direktur Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan Kemenkeu, Masyita Crystallin, mengatakan bahwa pendanaan adalah faktor krusial dalam keberhasilan menghadapi krisis iklim. Namun, ia menegaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya memiliki kontribusi terbatas dalam memenuhi kebutuhan tersebut.
“Peran APBN adalah sebagai katalis, bukan satu-satunya sumber. Kita leverage dana publik untuk mendorong investasi swasta,” ujar Masyita dalam Climate Finance Day di Jakarta, Selasa (10/6).
Masyita mencontohkan bahwa pemerintah bisa menggunakan mekanisme jaminan atau skema konsesi untuk menarik sektor swasta masuk ke proyek-proyek hijau, yang umumnya memiliki imbal hasil kecil dan jangka waktu panjang.
Baca Juga:
- Tagar #SaveRajaAmpat Menggema di Medsos, Pengamat: Batalkan Izin Selamanya
- Nama Kapal Dewi Iriana dan JKW Mahakam Jadi Sorotan di Tengah Polemik Tambang Nikel Raja Ampat
- Raja Ampat, Rumah 75% Karang Dunia yang Kini Terancam Tambang Nikel
Ia menambahkan bahwa pembiayaan murah dan berkonsep concessional financing sangat penting agar transisi menuju pembangunan rendah karbon dapat berjalan inklusif.
“APBN bisa digunakan untuk menutup gap biaya dan meningkatkan daya tarik proyek iklim,” imbuhnya.
Kemenkeu, lanjutnya, juga terus mendorong inovasi dalam instrumen keuangan seperti sukuk hijau, climate budget tagging (CBT), kerangka pembiayaan campuran (blended finance), hingga anggaran responsif gender.
Ke depan, Masyita berharap akses terhadap pembiayaan berkelanjutan semakin terbuka, khususnya untuk pemerintah daerah dan kelompok rentan. Ia menegaskan bahwa keberlanjutan tidak hanya mencakup aspek lingkungan, tetapi juga dimensi sosial dan tata kelola.
“Inklusivitas dan kesetaraan gender harus menjadi bagian dari desain kebijakan keuangan berkelanjutan kita,” tutupnya.