Dampak Perubahan Lanskap, Suhu di Jakarta Naik Hingga 1,6 Derajat Celsius

JAKARTA, sustainlifetoday.com – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan suhu permukaan di Jakarta meningkat signifikan sebesar 1,6 derajat Celsius selama 130 tahun terakhir.
Praktisi Cuaca dan Iklim Ekstrem BMKG, Siswanto menyatakan bahwa kenaikan suhu Jakarta lebih signifikan dibandingkan kenaikan suhu global dan regional. Iklim Jakarta telah mengalami perubahan yang signifikan seiring dengan perkembangan kota.
“Hal ini berindikasi terhadap peningkatan suhu permukaan sebesar satu derajat Celsius yang dapat meningkatkan ekstremitas hujan sebesar 14 persen,” ujar Siswanto, pada Kamis (6/6).
Dampak dari kenaikan suhu tersebut mengakibatkan curah hujan ekstrem di Jakarta menunjukkan kenaikan yang signifikan, dengan sifat curah hujan yang mengalami perubahan. Hujan saat ini menjadi lebih deras namun berlangsung dalam waktu yang lebih singkat.
Intensitas curah hujan meningkat pada pagi hari, dan terjadi pergeseran waktu hujan dari siang ke malam hari, serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan selama musim hujan.
Siswanto menjelaskan, iklim urban didefinisikan sebagai kondisi iklim yang sangat berbeda dengan wilayah rural di sekitarnya. Perbedaan ini muncul karena karakteristik iklim di kota berbeda dengan di pedesaan akibat perkembangan perkotaan. Berdasarkan hasil citra satelit Landsat untuk Jakarta pada tahun 1972, banguanan kawasan di Jakarta masih terbatas dan vegetasi lebih dominan. Hal yang sama terlihat pada tahun 1982, di mana vegetasi masih mendominasi pemandangan hijau.
Salah satu faktor yang mempengaruhi karakteristik ini adalah urbanisasi, perubahan lanskap, serta penggunaan berbagai properti di kota seperti energi, pengelolaan air, dan pengelolaan lahan.
Suhu saat ini tidak banyak berubah dengan rata-rata 28 derajat Celsius, meskipun rata-rata suhu tertinggi mengalami peningkatan dari 31,7 derajat Celsius menjadi 32,2 derajat Celsius. Sementara itu, Suhu minimum juga tidak banyak berubah, yaitu dari 24,3 derajat Celsius menjadi 24,7 derajat Celsius.
Pada tahun 1997, warna merah yang menunjukkan kawasan hunian mulai tampak sangat ekspansif. Perubahan lanskap ini diiringi dengan peningkatan suhu udara rata-rata menjadi 28,4 derajat Celsius, naik sekitar 0,4 derajat Celsius. Suhu maksimum tidak banyak berubah, sementara suhu minimum malam hari mencapai 25 derajat Celsius.
Pada tahun 2005, perkembangan kawasan hunian di Jakarta semakin meluas hingga tahun 2014. Kawasan hunian menjadi semakin padat, tidak hanya di dalam Jakarta tetapi juga meluas hingga ke luar batas kota Jakarta.
“Perubahan lingkungan kompatibel dengan perubahan iklim atau perubahan suhu, dalam hal ini yang terjadi di Jakarta,” kata Siswanto.
Kepala Pusat Riset Iklim dan Atmosfer di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Albertus Sulaiman menyatakan bahwa perubahan suhu permukaan di Jakarta memerlukan perhatian serius, terutama dari para peneliti yang ahli dalam ilmu iklim dan atmosfer.
“Masalah di dunia kita sekarang ini terkait dengan Sustainable Development Goals (SDGs), utamanya tentang kehidupan lebih baik dan berkelanjutan. Sains atau ilmu berperan untuk menyelesaikan masalah, terutama terkait dengan iklim urban perkotaan,” kata Albertus.