Dampak Perubahan Iklim, Populasi Kutu Melonjak di Amerika Utara

Jakarta, sustainlifetoday.com – Fenomena meningkatnya populasi kutu tengah menjadi perhatian serius di berbagai wilayah Amerika Utara. Para ilmuwan menyebut perubahan iklim sebagai faktor utama ledakan populasi berbagai spesies kutu, yang kini menyebar ke wilayah-wilayah baru dan membawa ancaman langsung bagi kesehatan masyarakat.
Shannon LaDeau, pakar kesehatan ekologi dari Cary Institute of Ecosystem Studies, melaporkan kutu mulai merayap masuk ke bangunan di Hudson Valley, New York.
“Ini cukup mengkhawatirkan,” katanya, dikutip dari New York Times, Kamis (19/6).
Jenis-jenis kutu seperti kutu rusa, kutu longhorned asal Asia Timur, kutu Gulf Coast, dan kutu lone star dilaporkan telah meluas hingga ke wilayah utara Amerika dan Kanada.
Baca Juga:
- Tolak Tambang Raja Ampat dan Dicap Wahabi Lingkungan, Aktivis Greenpeace Jadi Sasaran Peretasan
- KLH Ungkap Pelanggaran Lingkungan di Kawasan IMIP Morowali
- Presiden Prabowo Putuskan Empat Pulau Sengketa Masuk Wilayah Aceh
Kutu lone star, yang dapat memicu alergi terhadap daging merah (sindrom alpha-gal), kini ditemukan di negara-negara bagian yang sebelumnya bukan habitat alaminya.
“Jumlah dan ragam kutu lebih banyak dari sebelumnya, dan trennya terus naik,” ujar Marc Lame, entomolog dari Indiana University.
Perubahan iklim yang memicu musim dingin lebih hangat dan musim aktif kutu lebih panjang disebut sebagai penyebab utama. Michael Dietze dari Boston University menyebut sudah ada konsensus ilmiah bahwa perubahan iklim berperan dalam meluasnya fenomena ini. Selain itu, pertumbuhan populasi rusa dan tikus juga turut memperbesar peluang penyebaran kutu.
Peneliti Catherine Bouchard dari Public Health Agency of Canada menyebut kutu rusa kini menyebar sejauh 20 mil per tahun ke arah utara. Sementara kutu longhorned betina diketahui dapat bereproduksi tanpa kawin dan bertelur hingga 2.000 butir, meningkatkan ancaman penyebaran di habitat baru.
Dampak kesehatan yang diakibatkan meliputi penyakit Lyme, anaplasmosis, babesiosis, ehrlichiosis, hingga demam berbintik Rocky Mountain. Beberapa penyakit bisa diobati jika terdeteksi dini, tetapi juga dapat berakibat fatal jika terlambat.
Saat ini belum tersedia vaksin penyakit Lyme untuk manusia, baru tersedia untuk anjing. Oleh karena itu, langkah preventif menjadi sangat krusial. Sebagian besar penyakit yang dibawa kutu memerlukan waktu beberapa jam untuk menular, menjadikan deteksi cepat sebagai faktor penentu.
Fenomena ini menunjukkan bahwa perubahan iklim berdampak jauh melampaui suhu ekstrem, mencakup pula meningkatnya risiko penyakit berbasis ekosistem. Para ilmuwan menyerukan perlunya kesadaran publik akan hubungan antara kesehatan manusia dan krisis iklim, serta pentingnya upaya mitigasi dalam skala global.