Bank Dunia Izinkan Pendanaan Nuklir di Negara Berkembang

Jakarta, Sustainlifetoday.com – Bank Dunia resmi mencabut larangan pendanaan proyek energi nuklir di negara-negara berkembang, sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan listrik global yang terus meningkat. Keputusan ini diumumkan oleh Presiden Bank Dunia, Ajay Banga, pada Rabu (11/6).
Langkah ini menandai perubahan besar dari kebijakan sebelumnya yang diberlakukan sejak 2013. Saat itu, Bank Dunia menghentikan pembiayaan untuk proyek pembangkit listrik tenaga nuklir, dan pada 2017, juga menghentikan pendanaan untuk proyek minyak dan gas hulu mulai 2019. Meski demikian, diskusi terkait pendanaan proyek gas alam hulu masih berlangsung dan belum mencapai konsensus.
“Meski isunya kompleks, kita telah membuat kemajuan nyata menuju jalur yang jelas dalam menghadirkan listrik sebagai penggerak pembangunan,” kata Banga.
Ia menekankan bahwa permintaan listrik di negara-negara berkembang diperkirakan akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada 2035. Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan investasi energi lebih dari dua kali lipat dari saat ini, yakni melebihi US$280 miliar per tahun untuk sektor pembangkitan, jaringan, dan penyimpanan energi.
Baca Juga:
- India Akan Batasi Suhu Minimum AC Demi Hemat Energi dan Kurangi Emisi
- Perintah Prabowo, Pemerintah Cabut Izin Empat Perusahaan Tambang di Raja Ampat
- Prabowo Targetkan Masalah Sampah Bisa Tuntas di 2029
Dalam perubahan pendekatannya, Bank Dunia mengadopsi strategi “semua sumber masuk” (all of the above) untuk mendukung negara berkembang dalam mengejar tujuan pembangunan berkelanjutan. Dukungan terhadap energi nuklir, menurut Banga, mencakup kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dalam hal keselamatan, keamanan, regulasi, serta pencegahan proliferasi nuklir.
Bank Dunia juga akan mendukung perpanjangan umur reaktor nuklir yang sudah ada, peningkatan sistem kelistrikan, dan percepatan adopsi reaktor modular kecil (SMR). Saat ini, tercatat 28 negara telah menggunakan tenaga nuklir secara komersial, 10 negara siap memulai, dan 10 negara lainnya diperkirakan siap pada 2030.
Keputusan ini mendapat sambutan dari sejumlah pemegang saham besar Bank Dunia, termasuk Amerika Serikat, Jepang, dan China, meski beberapa negara Eropa seperti Jerman, Prancis, dan Inggris masih menunjukkan keraguan terhadap pendanaan proyek gas alam.