PPN Naik, Bagaimana Dampaknya pada Kelompok Rentan?

JAKARTA, sustainlifetoday.com – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengklaim bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% per 1 Januari 2025 tidak akan berdampak signifikan terhadap masyarakat, terutama kelompok rentan. Namun, sejumlah pihak mempertanyakan relevansi kebijakan tersebut di tengah kondisi ekonomi rakyat yang sulit.
Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), meskipun kenaikan PPN diamanatkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), situasi sosial dan ekonomi saat ini membuat kebijakan tersebut kurang tepat.
“Di tengah penurunan pendapatan masyarakat dan kenaikan harga kebutuhan pokok, menaikkan PPN dipastikan akan memberatkan rakyat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah,” tulis YLKI dalam keterangan pers dikutip Minggu (22/12).
Meski kebutuhan pokok seperti beras, jagung, dan sayur-mayur tetap dikecualikan dari pengenaan PPN, barang non-primer yang banyak dikonsumsi masyarakat bisa saja menjadi lebih mahal. Kondisi ini berpotensi menambah tekanan ekonomi pada kelompok yang sudah menghadapi tantangan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kenaikan PPN yang Tampak ‘Kecil’, tetapi Dirasa Berat
Menurut ilustrasi yang disampaikan Kemenkeu, kenaikan PPN sebesar 1% hanya menambah harga barang sekitar 0,9% pada konsumen. Contohnya, untuk barang seperti minuman bersoda dengan harga dasar Rp7.000, total harga yang dibayar konsumen pada 2024 adalah Rp7.770 dengan PPN 11%. Setelah PPN naik menjadi 12%, harga yang dibayar konsumen meningkat menjadi Rp7.840, atau naik Rp70 saja.

- Ilustrasi Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12%. (Sumber: Kementerian Keuangan)
Kenaikan serupa juga terjadi pada barang dengan harga yang lebih tinggi, seperti televisi seharga Rp5 juta. Dengan PPN 11%, harga totalnya pada 2024 adalah Rp5.550.000. Pada 2025, harga totalnya menjadi Rp5.600.000 dengan PPN 12%, atau naik sebesar Rp50.000.
Namun, YLKI menegaskan bahwa meskipun kenaikan harga terlihat kecil, dampaknya akan terasa pada rumah tangga berpenghasilan rendah yang memiliki daya beli terbatas.
“Kenaikan PPN yang sudah terjadi sebelumnya pada April 2022, dari 10% menjadi 11%, masih dirasakan berat oleh masyarakat. Jika PPN dipaksakan naik lagi menjadi 12% pada 2025, hal ini akan semakin memperburuk daya beli konsumen,” tambah YLKI.
Pemerintah diharapkan lebih proaktif memastikan kebijakan ini tidak memperlebar kesenjangan sosial. Pengawasan terhadap harga di pasar dinilai penting untuk mencegah praktik kenaikan harga yang tidak wajar akibat perubahan tarif pajak.
Selain itu, ada desakan agar hasil penerimaan tambahan dari kenaikan PPN ini benar-benar digunakan untuk program yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat rentan, seperti subsidi langsung atau penguatan jaring pengaman sosial.
Kemenkeu menyatakan bahwa kebijakan kenaikan PPN ini merupakan bagian dari langkah strategis untuk memperkuat basis penerimaan negara demi mendukung pembangunan yang berkelanjutan.