Gus Miftah Mundur dari Jabatan, Jadi Momentum Refleksi Nilai Sosial Masyarakat RI

JAKARTA, sustainlifetoday.com – Miftah Maulana Habiburrahman, alias Gus Miftah resmi memutuskan mundur dari jabatan Utusan Khusus Presiden (UKP) Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Pengunduran diri ini disampaikan dalam konferensi pers di Pondok Pesantren Ora Aji, Sleman, Yogyakarta, Jumat (6/12/2024).
“Hari ini dengan segala kerendahan hati dan ketulusan dan dengan penuh kesadaran, saya ingin sampaikan sebuah keputusan yang telah saya renungkan dengan sangat mendalam. Saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari tugas saya sebagai Utusan Khusus Presiden Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan,” kata Gus Miftah.
Keputusan ini muncul setelah Gus Miftah mendapat kritik tajam atas komentarnya kepada seorang penjual es teh di acara pengajian di Magelang. Ucapan yang dinilai merendahkan martabat penjual tersebut memicu reaksi keras di media sosial dan petisi pencopotan dirinya.
Keputusan Gus Miftah untuk mundur dari jabatan Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan membawa refleksi penting tentang keberlanjutan sosial di Indonesia, terutama dalam konteks menghormati martabat individu dan menjaga harmoni masyarakat.
Gus Miftah, yang sebelumnya menjadi sorotan karena komentar kontroversial terhadap seorang penjual es teh saat mengisi pengajian di Magelang, menyampaikan pengunduran dirinya pada Jumat (6/12/2024) di Pondok Pesantren Ora Aji, Sleman, Yogyakarta. Dalam pernyataannya, Gus Miftah menegaskan bahwa keputusan ini diambil setelah refleksi mendalam.
Refleksi dalam Menjaga Nilai Keberlanjutan Sosial di RI
Insiden ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga nilai-nilai keberlanjutan sosial, yaitu penghormatan terhadap martabat manusia tanpa memandang latar belakang atau peran sosial mereka. Sebagai seorang tokoh agama, ucapan dan tindakan Gus Miftah memiliki dampak besar, baik positif maupun negatif, pada pola pikir masyarakat tentang kerukunan dan keberagaman.
Kasus ini juga mengingatkan bahwa keberlanjutan sosial bukan hanya soal harmoni antargolongan, tetapi juga mencakup pengakuan terhadap hak dan martabat individu, termasuk mereka yang berada dalam lapisan ekonomi bawah. Keberlanjutan dalam konteks sosial memerlukan sikap saling menghargai, empati, dan keadilan, yang menjadi fondasi untuk menjaga hubungan yang sehat dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia.
Petisi yang menyerukan pencopotan Gus Miftah mencerminkan keresahan publik terhadap perilaku yang dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya, keputusan mundur Gus Miftah dapat menjadi contoh bahwa tokoh publik memiliki tanggung jawab moral untuk menebus kesalahan dan menjaga kepercayaan masyarakat.
Ke depan, langkah ini diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat pendekatan berbasis keberlanjutan sosial dalam menjaga kerukunan beragama. Tokoh agama, pemerintah, dan masyarakat perlu bersama-sama menciptakan lingkungan yang inklusif, adil, dan saling menghormati demi keberlanjutan masa depan Indonesia yang damai dan harmonis.