Diduga Kampus Pemberi Gelar Doktor ke Raffi Ahmad Abal-Abal

Jakarta, sustainlifetoday.com – Gelar Doktor Honoris Causa yang diterima oleh selebritas Raffi Ahmad baru-baru ini menjadi sorotan publik. Kampus yang memberikan gelar tersebut diduga tidak memiliki kredibilitas, bahkan dianggap sebagai kampus abal-abal. Dugaan ini muncul setelah kampus tersebut tidak terdaftar dalam pemeringkatan universitas di dunia, serta tidak memiliki pengakuan dari lembaga pendidikan resmi.
Salah satu sumber mengungkapkan, “Kampus yang memberikan gelar tersebut tidak ditemukan dalam pemeringkatan global, sehingga memunculkan pertanyaan mengenai keabsahan institusi tersebut.” Hal ini tentunya menimbulkan keraguan terhadap nilai dan legitimasi gelar yang diberikan oleh kampus tersebut.
Dugaan bahwa kampus tersebut abal-abal bukan hanya memengaruhi citra selebritas yang menerima gelar, tetapi juga membawa dampak negatif yang lebih luas, terutama dalam bidang pendidikan dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan. Kasus seperti ini bisa menurunkan standar pendidikan di Indonesia jika tidak ada pengawasan yang ketat dari pihak berwenang.
Baca Juga:
- Kurangi Emisi Karbon, PLN Luncurkan Program Pengembangan Ekosistem Biomassa
- Dukung Target NZE, Bluebird Sediakan 3.500 Taxi CNG Ramah Lingkungan
- Dorong Transisi Energi, Indonesia Siap Terapkan Biodiesel B40 pada 2025
Dampaknya Bagi Keberlanjutan
Kehadiran kampus abal-abal tidak hanya merusak reputasi pendidikan, tetapi juga berdampak buruk pada keberlanjutan dalam sektor sosial dan ekonomi. Kualitas pendidikan yang tidak terjamin akan menghasilkan lulusan yang kurang kompeten, sehingga dapat menghambat inovasi dan produktivitas di masa depan.
Tanpa investasi yang serius dalam pendidikan berkualitas, sulit bagi negara untuk mendukung pembangunan berkelanjutan yang melibatkan teknologi, sumber daya manusia, dan kebijakan yang berfokus pada kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, lemahnya tata kelola di universitas abal-abal memperburuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan secara keseluruhan. Hal ini dapat menghambat kerjasama antara dunia akademis dan industri, yang sejatinya merupakan salah satu pilar penting dalam mencapai keberlanjutan.
Jika tren ini dibiarkan, Indonesia berisiko tertinggal dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang sejalan dengan prinsip-prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG).