Ikutan FOMO Boneka Labubu Bisa Cemari Lingkungan?

Jakarta, sustainlifetoday.com – Baru-baru ini pasangan Uya Kuya dan Astrid Kuya telah resmi terpilih sebagai anggota DPR dan DPRD. Sebelum suaminya dilantik, Astrid Kuya terlebih dahulu diambil sumpah sebagai anggota DPRD Jakarta untuk periode 2024-2029. Namun, setelah dilantik dan mulai menjalankan tugasnya, tindakan Astrid yang memperlihatkan boneka Labubu menjadi perhatian warganet.
Boneka Labubu kini tengah menjadi tren, dan banyak artis serta masyarakat umum yang mencarinya sebagai aksesori atau koleksi. Di Indonesia, fenomena ini memicu antrean panjang di Pop Mart, dengan ribuan orang berlomba mendapatkan koleksi eksklusif tersebut. Namun, di balik keimutan Labubu yang memikat, apakah tren viral ini bisa disebut FOMO?
FOMO atau Fear Of Missing Out sendiri diartikan sebagai perasaan perasaan cemas dan takut yang timbul di dalam diri seseorang akibat ketinggalan sesuatu yang baru, seperti berita, tren, dan hal lainnya.
Rasa takut ketinggalan ini mengacu pada perasaan atau persepsi bahwa orang lain bersenang-senang, dan menjalani kehidupan yang lebih baik. Namun, perasaan FOMO ini juga dapat membawa dampak negatif, terutama pada lingkungan. Kira-kira apa saja dampaknya?
Peningkatan Produksi dan Limbah Produk
FOMO menyebabkan konsumen merasa tertekan untuk membeli lebih banyak produk Labubu, seperti mainan dan aksesori, karena takut kehabisan edisi terbatas. Menurut laporan dari The Ellen MacArthur Foundation, industri mode dan produk konsumer berkontribusi signifikan terhadap limbah global, dengan perkiraan 92 juta ton limbah tekstil dihasilkan setiap tahun (Ellen MacArthur Foundation, 2021). Peningkatan produksi barang-barang ini berujung pada penggunaan sumber daya alam yang lebih banyak dan peningkatan limbah di tempat pembuangan sampah.
Overkonsumsi dan Fast Fashion
FOMO sering kali memicu pembelian impulsif, terutama dalam konteks fast fashion. Sebuah studi oleh McKinsey & Company menunjukkan bahwa industri fashion cepat merupakan penyumbang 10% emisi karbon global dan 20% limbah air yang dihasilkan dunia (McKinsey & Company, 2020). Pakaian yang dirilis berdasarkan tren karakter seperti Labubu cenderung tidak tahan lama dan berakhir sebagai limbah setelah digunakan sebentar, menambah masalah lingkungan yang sudah ada.
Pengiriman dan Jejak Karbon
Koleksi Labubu yang banyak dijual secara online berkontribusi pada peningkatan jejak karbon akibat pengiriman internasional. Menurut International Air Transport Association (IATA), transportasi udara menyumbang sekitar 2-3% dari total emisi karbon global (IATA, 2020). Lonjakan permintaan akan produk Labubu dari berbagai negara meningkatkan frekuensi pengiriman, yang berujung pada emisi karbon yang lebih tinggi.
Pemborosan Energi dan Sumber Daya
FOMO membuat banyak konsumen membeli produk tanpa mempertimbangkan kebutuhan sebenarnya. Sebuah laporan dari World Economic Forum menyebutkan bahwa industri fashion menggunakan sekitar 79 triliun liter air setiap tahun dan menghasilkan emisi yang setara dengan 1,2 miliar ton CO2 (World Economic Forum, 2020). Proses produksi massal ini menghabiskan energi dan sumber daya yang seharusnya bisa dihemat.
Daur Ulang yang Kurang Optimal
Meskipun beberapa produk Labubu dapat didaur ulang, banyak konsumen tidak memprioritaskan daur ulang. Menurut The World Economic Forum, hanya 1% dari semua plastik yang diproduksi di seluruh dunia yang didaur ulang dengan baik (World Economic Forum, 2020). Banyak produk koleksi berakhir di tempat sampah, berkontribusi pada masalah limbah plastik yang semakin memburuk.