Jalan Terjal Indonesia dalam Membangun Ekosistem Kendaraan Listrik

Jakarta, sustainlifetoday.com – Perkembangan kendaraan listrik di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan besar hingga saat ini. Sebagai bagian dari upaya global untuk mengurangi emisi karbon dan mencapai target Net Zero Emission (NZE) 2060, Indonesia menghadapi jalan terjal dalam membangun ekosistem EV yang matang.
Pemerintah sendiri telah menyatakan komitmennya untuk mendorong transisi energi bersih, dan kendaraan listrik dipandang sebagai salah satu solusi utama dalam upaya ini. Meski demikian, tantangan teknis dan non-teknis terus menjadi penghalang bagi realisasi misi ini.
1. Infrastruktur Pengisian Daya yang Belum Memadai
Infrastruktur pengisian daya atau Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) menjadi kendala utama bagi pengembangan kendaraan listrik di Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan bahwa hingga Mei 2024, Indonesia baru memiliki sekitar 600 SPKLU di seluruh negeri, yang masih sangat jauh dari target yang diperlukan untuk mendukung penggunaan EV secara massal. Sebagai bagian dari misi NZE 2060, pemerintah berencana membangun 25.000 SPKLU pada 2030, namun perkembangan saat ini masih lambat dan belum menjangkau seluruh wilayah di luar Pulau Jawa.
Keterbatasan ini tidak hanya menghambat adopsi EV oleh masyarakat tetapi juga mengganggu target pemerintah dalam mengurangi emisi dari sektor transportasi, yang berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca (GRK). Tanpa infrastruktur pengisian daya yang memadai, transisi ke kendaraan listrik akan sulit dicapai dalam waktu yang diharapkan.
2. Biaya Kendaraan Listrik yang “Masih” Tinggi bagi Konsumen
Meskipun pemerintah telah memberikan insentif fiskal untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik, harga mobil listrik masih menjadi penghalang besar. Pada tahun 2024, harga kendaraan listrik rata-rata masih di atas Rp250 juta, jauh lebih mahal dibandingkan kendaraan konvensional. Ini menjadi tantangan besar bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, yang merupakan mayoritas populasi di Indonesia.
Sebagai bagian dari strategi NZE 2060, pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 55/2019 dan PMK No. 38/2023 telah mengeluarkan kebijakan subsidi dan keringanan pajak, namun jumlah penjualan kendaraan listrik masih di bawah target. Pada kuartal pertama 2024, penjualan kendaraan listrik di Indonesia hanya mencapai 15.000 unit, padahal target tahunan pemerintah adalah 200.000 unit. Tingginya harga baterai yang menyumbang hingga 40% dari total biaya kendaraan masih menjadi penghambat utama.
3. Teknologi Baterai dan Ketergantungan pada Impor Komponen
Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar dalam pengembangan teknologi baterai listrik, terutama karena kaya akan cadangan nikel, bahan utama baterai lithium-ion. Meski demikian, pada tahun 2024, sebagian besar teknologi dan komponen baterai masih diimpor. Proses pengembangan Indonesia Battery Corporation (IBC) yang mulai berkolaborasi dengan produsen baterai internasional seperti CATL dan LG Energy Solution adalah langkah penting, namun pabrik baterai lokal baru akan mulai beroperasi pada 2026.
Ketergantungan pada impor baterai ini tidak hanya menaikkan biaya produksi kendaraan listrik, tetapi juga memperlambat upaya Indonesia dalam membangun rantai pasokan baterai domestik yang mendukung misi NZE. Presiden Joko Widodo telah menekankan bahwa kemandirian dalam teknologi baterai adalah kunci untuk mencapai target emisi, karena transportasi adalah salah satu sektor yang paling banyak menghasilkan emisi karbon di Indonesia.
4. Regulasi yang Masih Berproses dan Belum Konsisten
Kebijakan pemerintah terkait kendaraan listrik terus diperbaiki, namun implementasinya masih kurang konsisten. PMK No. 38/2023, yang memberikan subsidi sebesar Rp7 juta untuk pembelian motor listrik dan Rp5 juta untuk konversi motor BBM menjadi listrik, diharapkan mampu meningkatkan adopsi EV, terutama di sektor roda dua yang mendominasi transportasi harian di Indonesia. Namun, kebijakan insentif ini belum secara signifikan berdampak pada peningkatan penjualan kendaraan roda empat, terutama di luar wilayah Jawa-Bali.
Selain itu, banyak produsen kendaraan listrik mengeluhkan birokrasi yang rumit dan kurangnya transparansi dalam pengajuan insentif. Ini menyebabkan ketidakpastian di pasar dan memperlambat laju transisi kendaraan listrik. Dalam upaya mencapai NZE 2060, regulasi yang lebih jelas dan terintegrasi sangat dibutuhkan, termasuk penyederhanaan perizinan untuk pembangunan infrastruktur pendukung seperti SPKLU dan fasilitas produksi baterai.
5. Persepsi Masyarakat dan Edukasi Publik
Kendala lain dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia adalah rendahnya kesadaran masyarakat tentang keuntungan kendaraan listrik. Survei yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Transportasi Indonesia (LPTI) pada pertengahan 2024 menunjukkan bahwa hanya 40% dari Masyarakat yang benar-benar memahami manfaat kendaraan listrik, baik dari sisi efisiensi biaya operasional maupun kontribusi terhadap pengurangan emisi karbon.
Pemerintah telah meluncurkan berbagai kampanye untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya transisi energi dan peran kendaraan listrik dalam mencapai target NZE 2060. Namun, persepsi bahwa kendaraan listrik memiliki performa yang lebih rendah dan biaya pemeliharaan yang lebih tinggi masih tersebar luas.
Padahal, menurut data terbaru dari Kementerian Perhubungan, biaya operasional kendaraan listrik lebih efisien, dengan biaya per kilometer hanya Rp 1.500 dibandingkan kendaraan berbahan bakar minyak yang bisa mencapai Rp 2.500 per kilometer.
6. Upaya Pemerintah dalam Mendukung Misi NZE 206
Untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) 2060, pemerintah Indonesia telah menetapkan strategi ambisius dalam sektor transportasi dengan memprioritaskan pengembangan kendaraan listrik. Pada Maret 2024, pemerintah menandatangani kesepakatan dengan produsen kendaraan listrik asal China, BYD Auto, untuk membangun pabrik produksi mobil listrik di Indonesia dengan investasi sebesar USD 3 miliar. Kesepakatan ini merupakan bagian dari rencana jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan memperkuat ekosistem kendaraan listrik di dalam negeri.
Selain itu, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang dikeluarkan pemerintah juga menetapkan target untuk mengurangi 41% emisi GRK pada 2030. Untuk mendukung target ini, pemerintah mendorong penggunaan energi bersih, termasuk pengembangan jalan tol listrik yang dilengkapi SPKLU di seluruh rest area. Infrastruktur ini diharapkan bisa menjadi katalisator untuk meningkatkan kepercayaan pengguna EV dalam melakukan perjalanan jarak jauh.
Melihat data-data yang ada, mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia pada 2024 masih menghadapi tantangan signifikan, baik dari segi infrastruktur, regulasi, biaya, maupun persepsi masyarakat.
Namun, upaya yang dilakukan pemerintah, termasuk kebijakan insentif dan investasi dalam sektor baterai dan kendaraan Listrik, menunjukkan komitmen kuat untuk mencapai target NZE 2060. Meskipun jalan yang dihadapi masih terjal dan panjang, dengan kolaborasi antara sektor pemerintah dan swasta serta peningkatan kesadaran publik, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama dalam transisi energi bersih di kawasan Asia.
Baca juga: Norwegia Hampir Capai Target 100 Persen Kendaraan Listrik, Indonesia Kapan?
Baca juga: Diperingati 9 September, Ternyata Ini Asal Usul Hari Kendaraan Listrik Dunia