BPK: PLN dan Kementerian ESDM Belum Sinkron Soal Transisi Energi!

Jakarta, sustainlifetoday.com — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut skema pendanaan transisi energi antara PT PLN dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum sinkron. Ketidaksesuaian ini berpotensi menambah beban subsidi dan kompensasi pemerintah hingga Rp489 triliun sepanjang 2025—2040.
“Perbedaan atau ketidakselarasan skenario transisi energi antara PLN dan Kementerian ESDM ditunjukkan pada perbedaan target penambahan kapasitas pembangkit dan skema sistem kelistrikan,” tulis BPK dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II-2024, dikutip Rabu (28/5).
BPK menilai pengelolaan transisi energi dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) masih belum efektif. Salah satunya tercermin dari kegagalan pencapaian target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2023.
Baca Juga:
- Pupuk Kaltim Targetkan Penurunan Emisi Lewat Biomassa
- KLH: Korporasi Wajib Bayar Jika Mencemari Lingkungan
- Studi: Perubahan Iklim Ancam 25% Spesies Hewan Global
Perencanaan proyek green enabling super grid dan biaya investasi yang tidak terkoordinasi dengan baik, disebut BPK akan memengaruhi biaya pokok produksi (BPP) listrik. Hal ini berpotensi berdampak pada kenaikan tarif atau beban subsidi yang harus ditanggung negara.
“Permasalahan ini dapat menghambat pemenuhan target transisi energi dan berpotensi meningkatkan interest bearing debt yang berasal dari bunga pinjaman, menjadi sebesar Rp824 triliun atau melebihi batas aman Rp500 triliun,” lanjut laporan BPK.
BPK juga memperingatkan bahwa kondisi ini bisa membuat target penurunan emisi pada sektor energi yang tertuang dalam Enhanced National Determined Contribution (ENDC) berisiko tidak tercapai. Untuk itu, BPK merekomendasikan agar PLN dan Kementerian ESDM menyelaraskan skenario transisi energi dan memasukkannya ke dalam dokumen RUPTL, RKAP, dan RJPP.
Sementara itu, Kementerian ESDM sebelumnya menurunkan target bauran EBT dalam energi primer nasional pada 2025 dari 23% menjadi 17%—20%.
“Dalam satu tahun ini kita akan berusaha untuk paling tidak mencapai target sesuai KEN [yaitu bauran EBT sebesar] 20%, sedangkan target di versi rendahnya KEN itu 17% pada 2025,” kata Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi saat rapat dengan Komisi XII DPR RI, Februari lalu.
Eniya mengakui bahwa pencapaian target 23% akan sulit direalisasikan, apalagi pada 2024 capaian EBT baru 14,68% dari target 19,5%. Ia menyebut sejumlah tantangan masih menghambat transisi energi, salah satunya adalah keterbatasan jaringan transmisi untuk menyalurkan listrik dari sumber EBT ke pusat permintaan.
Dalam dokumen RUPTL 2025—2034 yang baru diterbitkan, PLN ditargetkan menambah kapasitas pembangkit terpasang sebesar 69,5 gigawatt (GW), di mana sekitar 61% atau 42,6 GW berasal dari pembangkit EBT. PLN juga akan mengembangkan sistem penyimpanan energi (storage) sebesar 10,3 GW.
Adapun investasi pembangkit selama 10 tahun ke depan diproyeksikan mencapai Rp2.133,7 triliun, dengan 73% atau Rp1.566,1 triliun dialokasikan untuk pengembang swasta atau independent power producer (IPP). Rinciannya, Rp1.341,8 triliun untuk pembangkit EBT dan Rp224,3 triliun untuk non-EBT. Sisanya Rp567,6 triliun merupakan investasi PLN sendiri.
“Sebenarnya gas ini bukan lagi fosil an sich, ya dia setengah. Di Eropa saja masih batu bara kok, di Turki saja masih ada batu bara, kita saja yang kekinian,” ujar Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Senin (26/5).
Bahlil menambahkan, strategi ini dihitung dengan asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 8% dalam beberapa tahun ke depan.