Greenpeace Desak Pemerintah Tarik Pajak Tinggi ke Perusahaan Perusak Lingkungan

Jakarta, sustainlifetoday.com – Sebagai bagian dari upaya menekan ketimpangan ekonomi dan menghadapi krisis iklim, Greenpeace Indonesia mengirimkan surat resmi kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, pada 31 Juli 2025. Surat tersebut mendesak pemerintah mengambil peran aktif dalam memperjuangkan keadilan fiskal sebagai solusi atas krisis iklim dalam forum Konvensi Pajak PBB (UN Tax Convention) yang digelar sejak awal Agustus hingga November 2025.
Greenpeace menuntut penerapan pajak yang lebih tinggi bagi perusahaan perusak lingkungan dan individu super-kaya. Pendapatan dari pajak tersebut dinilai dapat menjadi sumber pembiayaan penting untuk mendukung pembangunan berkelanjutan serta penanganan dampak krisis iklim.
Dalam surat tersebut, Greenpeace juga menekankan pentingnya keberpihakan fiskal terhadap kelompok rentan yang terdampak langsung oleh krisis iklim, dan mendorong Indonesia untuk memainkan peran strategis di forum internasional, termasuk KTT G20.
“Ini saatnya memanfaatkan momentum global untuk menuntut kontribusi nyata dan adil dari industri ekstraktif dan kelompok super-kaya, mereka yang terus meraup keuntungan masif di tengah krisis yang justru memperburuk penderitaan masyarakat dan kerusakan lingkungan,” ujar Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia dalam rilisnya dilansir pada Rabu (6/8).
Greenpeace mencatat bahwa selama satu dekade terakhir, dunia masih kesulitan mengatasi kemiskinan global dan perubahan iklim. Padahal, jika tidak ditangani, kerugian ekonomi akibat perubahan iklim bisa mencapai USD 38 triliun per tahun pada 2050, sementara negara-negara berpenghasilan rendah menghadapi potensi kerugian tahunan lebih dari USD 300 miliar.
Di sisi lain, kekayaan 1% orang terkaya di dunia meningkat tajam sejak 2015 hingga mencapai lebih dari USD 33,9 triliun, atau 22 kali lipat dari jumlah yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan global setiap tahun. Menurut data Oxfam 2023, 1% orang terkaya menyumbang 16% dari total emisi karbon global, setara dengan emisi 5 miliar orang termiskin di dunia.
Baca Juga:
- Pertamina Turunkan Emisi Lebih dari 1 Juta Ton CO₂e hingga Semester I 2025
- Anggota DPR: Jaga Alam, Lindungi Bangsa dari Bencana
- KLH: Program MBG Harus Sejalan dengan Pengelolaan Sampah
Greenpeace juga meminta pemerintah Indonesia secara aktif mengangkat Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle) dalam proses negosiasi Konvensi Pajak PBB dan UNFCCC, sekaligus mendorong implementasi mekanisme perpajakan global terhadap keuntungan perusahaan multinasional pencemar seperti industri minyak, gas, batubara, dan petrokimia. Pajak tersebut diarahkan untuk pendanaan aksi iklim dan pembangunan global.
Selain itu, Greenpeace juga mendorong penerapan pajak kekayaan progresif terhadap individu-individu ultra-kaya dan super polluters, dengan tarif yang meningkat seiring kekayaan dan dampak emisi yang dihasilkan.
Dalam konteks KTT G20 yang dipimpin oleh Afrika Selatan, Greenpeace mendesak Indonesia untuk menyuarakan dukungan terhadap Pajak Kekayaan Minimum Global yang diusulkan menjadi bagian dari Konvensi Pajak PBB. Pajak ini dinilai penting untuk memastikan kontribusi adil dari kelompok terkaya terhadap pembiayaan transisi iklim.
Greenpeace juga mendukung pembentukan Satuan Tugas Pemungutan Pajak Solidaritas Global dan koalisi internasional untuk memajaki korporasi dan individu super-kaya yang selama ini berkontribusi besar terhadap krisis lingkungan global.
Survei Greenpeace dan Oxfam di 13 negara menunjukkan bahwa 86% masyarakat dunia mendukung pajak lebih tinggi untuk perusahaan migas, dan 90% mendukung kenaikan pajak untuk kelompok super-kaya, demi membantu masyarakat yang terdampak langsung bencana iklim.
Greenpeace menyatakan kesiapannya untuk berdialog langsung dengan pemerintah Indonesia guna membahas lebih lanjut tentang kebijakan fiskal progresif untuk pembiayaan aksi iklim. Surat ini juga ditembuskan kepada Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan, dan Menteri Luar Negeri.
“Pemerintah Indonesia harus berdiri di garis depan dalam menuntut keadilan iklim global. Pajak bukan sekadar instrumen ekonomi, tetapi alat perjuangan untuk masa depan bumi dan generasi mendatang,” tegas Leonard.