Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Aktivis Lingkungan: Jangan Hapus Luka Ekologi Bangsa!
Jakarta, sustainlifetoday.com — Rencana pemerintah untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto menuai gelombang penolakan dari berbagai kalangan. Bukan hanya dari aktivis HAM dan akademisi, tapi juga dari pegiat lingkungan yang menilai kebijakan Orde Baru telah meninggalkan warisan krisis ekologis yang berat hingga hari ini.
Muhammad Ichwan, Direktur Eksekutif Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) periode 2024–2027 dalam tulisannya menyebut langkah tersebut sebagai bentuk “kemunduran moral sejarah.”
“Selain rekam jejak pelanggaran HAM, Soeharto juga meninggalkan catatan kelam dalam pengelolaan lingkungan hidup Indonesia. Di tengah upaya bangsa menghadapi krisis iklim dan kerusakan hutan yang kian parah, rencana ini terasa ironis. Pertanyaannya: pahlawan bagi siapa, jika bumi dan rakyat menjadi korban?” ungkap Ichwan, dikutip dari laman NU Online, Senin (10/11).
Ekonomi Ekstraktif dan Warisan Deforestasi
Selama tiga dasawarsa kekuasaannya, kebijakan ekonomi Soeharto bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam, terutama hutan. UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 menjadi pintu masuk bagi pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada perusahaan besar, baik dalam maupun luar negeri.
Data Kementerian Kehutanan mencatat, ekspor kayu bulat melonjak dari 5,2 juta meter kubik pada 1969 menjadi 24,3 juta meter kubik pada 1973–1974. Namun, keuntungan besar ini hanya dinikmati segelintir elit yang dekat dengan kekuasaan. Sekitar separuh kawasan hutan produksi kala itu dikuasai oleh 15 konglomerasi.
Christopher Barr dari CIFOR bahkan mencatat bahwa banyak perusahaan swasta memberikan 20–25 persen saham kepada militer untuk melanggengkan izin usaha mereka.
Dampak Sosial dan Ekologis yang Mengakar
Kerusakan hutan yang terjadi di masa Orde Baru menimbulkan dampak sosial yang besar. Studi WALHI memperkirakan lebih dari 10 juta warga yang tinggal di kawasan hutan kehilangan akses terhadap tanah dan air bersih.
Baca Juga:
- Wapres Gibran Ajak Anak Muda Aktif Kampanyekan Pelestarian Lingkungan di Media Digital
- Indonesia Tegaskan Kepemimpinan Transisi Energi di Forum COP30 Belem
- Menteri Hanif: Kolaborasi dengan The Royal Foundation Tonggak Baru Perlindungan Alam Indonesia
Ekspansi perkebunan sawit sejak akhir 1980-an juga menjadi penyebab baru deforestasi. Laporan Environmental Investigation Agency (EIA, 1999) menyebut pembukaan lahan sawit di Sumatera dan Kalimantan kerap dilakukan dengan praktik tebang-bakar—yang hingga kini masih menjadi sumber kebakaran hutan tahunan di Indonesia.
“Pembangunan yang menumbalkan hutan dan menggusur rakyat kecil tidak bisa disebut sebagai pengorbanan demi bangsa. Itu pengkhianatan terhadap amanah konstitusi,” tegas Ichwan.
Krisis Iklim dan Jejak Orde Baru
Warisan ekologis Orde Baru masih membayangi Indonesia hingga kini. Dari 94 juta hektare kawasan hutan produksi, lebih dari separuhnya kini terdegradasi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, 56 persen lahan pertanian dan kehutanan dikuasai oleh hanya 1 persen pelaku usaha besar. Meski regulasi seperti Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) sudah diterapkan, paradigma eksploitasi masih bertahan dalam berbagai proyek modern, seperti food estate dan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Kepahlawanan dan Tanggung Jawab Moral
Ichwan menilai bahwa gelar Pahlawan Nasional tidak semestinya diberikan hanya berdasarkan jasa politik, melainkan juga harus mencerminkan tanggung jawab moral terhadap bangsa dan bumi.
“Kepahlawanan sejati berpihak pada keberlanjutan hidup, bukan pada angka pertumbuhan ekonomi yang menyesatkan. Menutup mata terhadap kerusakan ekologis masa lalu adalah bentuk penyangkalan terhadap sejarah dan kemanusiaan itu sendiri,” tulisnya.
Menurutnya, menolak Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bukan sekadar sikap politik, tetapi juga tindakan moral untuk menjaga ingatan ekologis bangsa.
“Dari hutan yang hilang, sungai yang mengering, hingga udara yang penuh polusi, sejarah memberi peringatan: jangan salah menempatkan pahlawan. Pahlawan sejati adalah mereka yang menjaga kehidupan, bukan yang menggadaikannya demi kekuasaan.”
