Sebabkan Hingga 60 Juta Ton Karbon, Gaza Alami Krisis Iklim

JAKARTA, sustainlifetoday.com – Penelitian terbaru mengindikasikan bahwa rekonstruksi Gaza pasca pemboman oleh Israel akan menghasilkan dampak lingkungan sebesar 60 juta ton setara CO2. Serangan besar Israel di Gaza telah menyebabkan kematian, pengungsian, dan kerusakan infrastruktur di wilayah Palestina.
Peneliti dari Amerika Serikat dan Inggris mengkaji emisi CO2 dalam tiga kategori: konstruksi sebelum konflik, seperti jaringan terowongan Hamas dan sistem pertahanan tembok besi Israel, aktivitas selama 120 hari, serta rekonstruksi infrastruktur dan bangunan di Gaza.
Diperkirakan telah dihasilkan antara 420.265 dan 652.552 ton ekuivalen karbon dioksida (CO2e) setara dengan pembakaran lebih dari 1,5 juta barel minyak dari kejadian tersebut. Namun, jumlah ini meningkat menjadi lebih dari 61 juta ton jika konstruksi dan rekonstruksi sebelum dan sesudah perang turut diperhitungkan.
Para ahli memperkirakan bahwa militer menyumbang 5,5% dari total emisi karbon global tahunan, lebih besar dari gabungan penerbangan sipil (3%) dan pelayaran sipil (2%). Meski demikian, laporan emisi militer kepada UNFCCC berdasarkan Perjanjian Paris bersifat sukarela, dan hanya empat negara yang memberikan data.
Pemerintah Israel belum menanggapi permintaan untuk memberikan komentar atas penelitian ini. Israel juga tidak memasukkan data emisi pembakaran bahan bakar militer dalam inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasionalnya, tetapi diperkirakan emisi selama perang mencapai 261.800 hingga 372.480 ton CO2e.
Emisi karbon dari bom yang dijatuhkan di Gaza oleh Pasukan Pertahanan Israel antara Oktober 2023 dan Februari 2024 setara dengan emisi untuk menghidupkan hampir 10.000 rumah selama setahun.
“Militer dibebaskan dari pelaporan. Kita semua sepertinya hidup di dunia di mana emisi knalpot dari F-35 bebas karbon dan tidak dihitung,” jelas salah satu penulis studi dan dosen senior di Queen Mary University of London, Dr. Benjamin Neimark, dikutip dari Euronews pada Senin (10/6).
Analisis ini memeriksa jejak karbon dari infrastruktur yang sudah ada sebelum konflik terakhir. Di Gaza, Hamas memiliki jaringan terowongan beton dan baja sepanjang 500 km untuk penyimpanan senjata, transportasi, pelatihan pejuang, dan penahanan sandera Israel.
Di Israel, Hamas menerobos tembok besi sepanjang 65 km dan setinggi enam meter yang terdiri dari pagar besi, penghalang beton, kawat berduri, dan kamera pada 7 Oktober lalu, memicu konflik terbaru.
Infrastruktur ini secara keseluruhan menghasilkan antara 448.832 dan 790.387 ton CO2e, lebih banyak dari emisi tahunan Puerto Rico yang rusak akibat krisis iklim. Para peneliti menekankan bahwa tujuan penelitian mereka adalah untuk menarik perhatian pada dampak iklim, bukan untuk mengalihkan perhatian dari krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh konflik. Mereka menyoroti bahwa biaya karbon, konsekuensi lingkungan, dan bencana kemanusiaan saling terkait.
Komite Palang Merah Internasional (ICRC) mencatat bahwa Gaza, yang sudah berada di garis depan krisis iklim, mengalami dampak perubahan iklim yang memperburuk kebutuhan kemanusiaan akibat konflik yang belum terselesaikan. Serangan Israel telah meningkatkan polusi udara, air, dan tanah di Gaza, menyebabkan kerusakan permanen pada lingkungan, serta melepaskan limbah berbahaya.
Puing-puing akibat konflik ini memerlukan bertahun-tahun untuk dibersihkan. Sebagian besar emisi di Gaza, yaitu 90%, disebabkan oleh Israel, sementara 10% lainnya berasal dari bahan bakar dan roket Hamas, produksi listrik di Gaza, serta transportasi truk yang mengirim bantuan.
Dengan populasi padat di wilayah yang suhunya meningkat 20% lebih cepat dari rata-rata global, Gaza sangat rentan terhadap dampak krisis iklim. Ditambah dengan 85% penduduk yang menjadi pengungsi akibat perang, Gaza berada di titik kritis antara konflik dan perubahan iklim.
Studi ini mengindikasikan bahwa kerusakan karbon akibat pemboman Israel dapat dikategorikan sebagai ekosida, yaitu kerusakan lingkungan yang disengaja atau karena kelalaian, yang merupakan kejahatan perang menurut Statuta Roma dan bertentangan dengan Konvensi Jenewa.
“Kami ingin melihat mekanisme pelaporan yang ketat, dapat dilacak, dan dapat dipertanggungjawabkan yang dibentuk untuk memperhitungkan emisi militer menuju pengembangan untuk melakukan pengurangan yang berarti. Kita bisa mulai meminta pertanggungjawaban militer dan pemerintah mereka secara hukum atas kejahatan iklim dan kerusakan lingkungan yang diakibatkannya,” kata Dr. Benjamin.