Retret Kristiani Diserang, PIS: Tegakkan Hukum, Tolak Intoleransi

Jakarta, sustainlifetoday.com — Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS) mengecam keras tindakan kekerasan terhadap siswa-siswi Kristiani yang sedang melakukan kegiatan retret di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat, pada Jumat, 27 Juni 2025. Insiden ini kembali menyoroti luka lama intoleransi yang belum sembuh di beberapa wilayah Indonesia, terutama dalam konteks keberagaman agama dan hak-hak warga negara untuk beribadah secara damai.
“Bagi kami aksi itu adalah aksi biadab yang melanggar undang-undang dan merusak tatanan masyarakat Indonesia,” tegas Ketua PIS, Ade Armando dalam keterangan yang diterima Selasa (1/7).
Retret yang seharusnya menjadi momen refleksi rohani dalam suasana damai justru berujung teror. Ketika para peserta sedang berdoa dan menyanyikan lagu-lagu rohani, sejumlah massa mendatangi lokasi, berteriak kasar, merusak fasilitas villa, dan mengusir para peserta secara paksa. Aksi tersebut bahkan berlanjut saat para siswa sudah berada dalam kendaraan untuk pulang, mobil mereka digedor dan diteriaki dengan ancaman yang memicu trauma mendalam.
Baca Juga:
- SustainLife Today Luncurkan Majalah Edisi Perdana Q1-2025
- 6 Finalis Siap Bertarung di Grand Prix Round Jakarta International Choral Festival (JICF) 2025
- Dorong Pemerataan Energi Bersih untuk Wilayah 3T, Pemerintah Resmikan 47 PLTS di 11 Provinsi
PIS menyatakan bahwa tindakan tersebut tidak dapat ditoleransi sebagai “insiden biasa”, apalagi diselesaikan di luar proses hukum. Permintaan sekelompok orang yang mengatasnamakan warga untuk “tidak memperpanjang masalah” dinilai sebagai bentuk pengaburan hukum.
“Tindakan itu sudah masuk dalam kategori pelanggaran pidana. Dan itu bisa mengakibatkan dampak kesehatan psikologi yang berkepanjangan bagi anak-anak,” lanjut PIS dalam pernyataan resminya.
Organisasi tersebut juga menyoroti minimnya respons tegas dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pernyataan Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas, yang hanya menghimbau agar masyarakat tetap tenang, dinilai tidak cukup. Terlebih ketika regulasi seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 masih digunakan untuk membatasi pendirian rumah ibadah bagi kelompok minoritas.
Setara Institute mencatat bahwa pada 2024, Jawa Barat menjadi provinsi dengan angka intoleransi tertinggi di Indonesia, mencatatkan 34 kasus. Mirisnya, sebagian aksi tersebut bahkan melibatkan aparat negara. Hal ini menambah urgensi bagi pemerintah daerah dan pusat untuk bertindak lebih dari sekadar imbauan.
PIS mendesak Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk:
- Memastikan penegakan hukum secara adil terhadap para pelaku.
- Mendorong kepolisian dan aparat daerah untuk tidak ragu menindak kekerasan berbasis intoleransi.
- Mengembangkan program pencegahan dan edukasi yang berkelanjutan demi membangun budaya toleransi di masyarakat.
Indonesia menjunjung tinggi kebebasan beragama sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Namun, apabila intoleransi terus dibiarkan tanpa sanksi tegas, maka nilai-nilai dasar konstitusi itu akan kehilangan maknanya di lapangan.
“Karenanya, segala tindakan yang menghalangi kebebasan beragama seharusnya ditindak dengan sekeras-kerasnya. Termasuk para pelaku intoleran di Cidahu Sukabumi Jawa Barat ini,” tutup Ade Armando.