Krisis Energi di Gaza, Warga Terpaksa Masak Pakai Sampah Plastik

Jakarta, sustainlifetoday.com – Krisis kemanusiaan di Gaza terus memburuk. Selain ancaman kelaparan, tembakan, dan pengeboman, warga sipil kini menghadapi risiko kesehatan baru, krisis bahan bakar. Karena hal itu warga Gaza terpaksa membakar sampah plastik untuk memasak.
Dalam laporan terbarunya yang dilansir Kamis (26/6), Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menyebutkan bahwa kelangkaan bahan bakar, gas, dan listrik telah memaksa banyak keluarga di Gaza menggunakan sampah plastik sebagai sumber energi alternatif. Praktik ini menimbulkan ancaman serius, terutama bagi anak-anak dan lansia, akibat asap beracun dan ventilasi yang buruk di tempat penampungan darurat.
“Penembakan dan pengeboman di Jalur Gaza terus berdampak buruk pada warga sipil. Serangan-serangan tersebut dilaporkan telah menewaskan dan melukai banyak orang, sebagian besar di antaranya saat sedang mencari bantuan,” ungkap OCHA.
Situasi ini diperburuk oleh pembatasan ketat dari otoritas Israel terhadap pasokan bahan bakar dan distribusinya di Gaza. Akibatnya, layanan penyelamatan dan kebutuhan dasar masyarakat semakin terganggu.
Rumah Sakit Lapangan Palang Merah di Rafah, menurut laporan Komite Palang Merah Internasional (ICRC), menerima 149 korban dalam satu hari, sebagian besar terluka saat hendak mengambil bantuan. Enam belas orang meninggal di tempat, tiga lainnya menyusul karena luka berat.
“Semua pasien yang datang melaporkan bahwa mereka terluka saat dalam perjalanan ke lokasi penyaluran bantuan,” tulis ICRC.
ICRC menyebut skala dan frekuensi insiden seperti ini menjadi bukti yang mengkhawatirkan tentang bahaya yang tak dapat ditoleransi yang dihadapi warga sipil saat mereka berupaya mengakses bantuan.
Baca Juga:
- SustainLife Today Luncurkan Majalah Edisi Perdana Q1-2025
- AHY Paparkan Langkah Hadapi Urbanisasi dan Krisis Iklim di Forum BRICS
- Tercemar Merkuri, Menteri KKP: Ikan di Waduk Cirata Tidak Layak Dimakan
Sementara itu, Dana Kependudukan PBB memperingatkan bahwa sekitar 80 persen unit perawatan kritis, termasuk untuk persalinan berisiko ditutup. Saat ini terdapat rata-rata 130 persalinan per hari di Gaza, dan tanpa bahan bakar, layanan medis ini tidak dapat bertahan.
Distribusi makanan juga mengalami penurunan tajam. Dapur umum di Gaza hanya mampu menyediakan 200.000 porsi makanan per hari sepanjang pekan ini, turun drastis dari lebih dari satu juta porsi per hari pada April lalu. OCHA menyebut penurunan ini sebagai “bantuan yang terlalu kecil untuk jutaan orang yang berada di ambang kelaparan.”
OCHA menyerukan agar Israel mengizinkan masuknya lebih banyak pasokan makanan, gas untuk memasak, bahan bakar, serta perlengkapan tempat tinggal melalui beberapa perlintasan darat setiap hari.
“Untuk memfasilitasi distribusi bantuan yang tertib, pasokan harus disalurkan setiap hari melalui beberapa perlintasan dan rute darat secara bersamaan, sehingga dapat memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa aliran bantuan esensial mengalir dengan stabil, mencukupi, dan reliabel,” jelas OCHA.
Namun, dari 15 gerakan bantuan kemanusiaan yang direncanakan pada Selasa, hanya empat yang disetujui dan berhasil dijalankan. Tujuh lainnya ditolak, sementara empat sisanya tertunda atau dibatalkan di lapangan karena hambatan teknis atau keamanan.
Situasi ini turut berdampak pada pendidikan. Puluhan ribu siswa di Gaza dilaporkan tidak dapat mengikuti ujian sekolah menengah tahun ini karena situasi tidak aman, perintah pengungsian, dan kendala koneksi internet. Tahun lalu, sekitar 39.000 siswa di Gaza juga tidak dapat mengikuti ujian yang sama.