IATA Kritik Kebijakan Uni Eropa soal Avtur Berkelanjutan

Jakarta, SustainLife Today – Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan Uni Eropa terkait mandat penggunaan sustainable aviation fuel (SAF), atau bahan bakar penerbangan berkelanjutan. Dalam sebuah konferensi media di Singapura pada Rabu (16/7), Direktur Jenderal IATA Willie Walsh menyatakan bahwa inisiatif tersebut tidak hanya mahal, tetapi juga tidak memberikan manfaat lingkungan yang nyata, terutama karena pasokan regional yang masih sangat terbatas.
“Gagasan bahwa Anda membeli bahan bakar berkelanjutan lalu mengangkutnya ke Eropa bukanlah cara yang benar, karena jelas menambah jejak karbon dari bahan bakar tersebut akibat biaya transportasi,” ujar Walsh dikutip dari Reuters Kamis, 18 Juli 2025.
Ia juga menambahkan bahwa mandat penggunaan produk yang tidak tersedia secara memadai justru tidak menghasilkan manfaat lingkungan apa pun.
IATA memperkirakan bahwa produksi SAF global pada tahun 2025 hanya akan mencapai sekitar 2 juta metrik ton, atau setara dengan 0,7% dari total konsumsi bahan bakar maskapai. Meski tergolong rendah, Uni Eropa tetap menargetkan agar seluruh maskapai memiliki campuran SAF sebesar 6% dalam bahan bakar jet mereka pada tahun 2030, sebagaimana tercantum dalam regulasi ReFuelEU Aviation.
Namun menurut Walsh, kebijakan tersebut justru menciptakan distorsi pasar yang signifikan. “UE pada dasarnya telah memfasilitasi para pemasok monopoli untuk menaikkan harga tanpa memberikan manfaat lingkungan apa pun,” katanya.
Ia juga menekankan bahwa perusahaan bahan bakar yang diwajibkan memproduksi SAF ikut meningkatkan harga bahan bakar jet konvensional.
Baca Juga:
- Memahami Kehidupan hingga Kondisi Arktik Terkini dari Film “Sore: Istri dari Masa Depan”
- Badai dan Banjir Parah Terjadi di Banyak Negara, Ilmuwan: Dampak Krisis Iklim!
- Mikroplastik Ancam Kesehatan Manusia dan Iklim, Ini Penjelasan Ahli
Pada saat yang sama, Asia menunjukkan geliat produksi SAF yang kian meningkat. Setidaknya, lima proyek SAF di kawasan Asia (di luar Tiongkok) telah memulai produksi atau dijadwalkan mulai beroperasi tahun ini, dengan sebagian besar hasil produksinya ditujukan untuk ekspor regional dan ke Eropa. Singapura menjadi salah satu eksportir utama bahan bakar hijau ini ke pasar Eropa.
Walsh juga turut menyoroti polemik penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku SAF. Menurutnya, klasifikasi antara minyak sawit yang berkelanjutan dan yang tidak masih terlalu disederhanakan.
“Saya pikir bisa saja ada minyak sawit yang berkelanjutan, dan ada pula yang tidak. Namun di beberapa bagian dunia, perbedaannya terlalu hitam putih,” tambah Walsh.
Sementara Uni Eropa telah mulai menawarkan subsidi untuk pembelian SAF oleh maskapai, IATA tetap mempertanyakan efektivitas kebijakan tersebut jika tidak diimbangi dengan ketersediaan pasokan dan pertimbangan keberlanjutan yang lebih komprehensif.