Penelitian: Perubahan Iklim Turunkan Kandungan Gizi Sayuran

Jakarta, sustainlifetoday.com – Suhu yang semakin panas akibat perubahan iklim bukan hanya berdampak pada cuaca ekstrem dan krisis air, tapi juga mengancam kandungan gizi tanaman pangan yang kita konsumsi sehari-hari.
Penelitian terbaru yang dipresentasikan di Annual Meeting of the Society for Experimental Biology di Antwerp, Belgia pada 8 Juli 2025, mengungkapkan bahwa perubahan iklim berkontribusi terhadap penurunan kualitas nutrisi pada tanaman pangan, terutama sayuran daun hijau seperti kangkung dan bayam.
“Tanaman adalah fondasi dari jaringan makanan kita sebagai produsen utama ekosistem,” ungkap peneliti utama, Jiata Ugwah Ekele, dikutip dari Digital Journal, Jumat (11/7).
“Perubahan lingkungan ini dapat berdampak pada fotosintesis dan penyimpanan nutrisi dalam tanaman,” lanjutnya.
Dalam temuan ini, para peneliti menyimpulkan bahwa meski kadar karbon dioksida dan suhu yang lebih tinggi bisa mempercepat pertumbuhan tanaman, hal tersebut justru menurunkan kandungan mineral, protein, dan antioksidan dalam tanaman yang komponen penting yang dibutuhkan manusia untuk daya tahan tubuh dan pencegahan penyakit.
Baca Juga:
- Banjir di Musim Kemarau, Wakil Ketua MPR: Bukti Krisis Iklim Sudah Nyata
- Wali Kota Palembang Dorong UMKM Gunakan Kemasan Ramah Lingkungan
- Menag: Perubahan Iklim Lebih Mematikan dari Konflik Bersenjata
Efek dari penurunan nutrisi ini tidak main-main. Penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi gula dalam tanaman cenderung meningkat, sementara kandungan protein dan mikronutrien justru menurun. Ketidakseimbangan ini bisa menyebabkan kekurangan gizi, menurunkan kekebalan tubuh, dan meningkatkan risiko obesitas serta penyakit kronis.
Tim peneliti menganalisis proses fotosintesis melalui indikator fluoresensi klorofil dan quantum yield, dua indikator utama efisiensi penyerapan cahaya matahari oleh tanaman. Selama masa pertumbuhan, mereka juga mengukur biomassa dan hasil panen, untuk memahami dampak iklim pada kuantitas dan kualitas tanaman secara menyeluruh.
Untuk mengukur kandungan gizi, para ilmuwan menggunakan teknik kromatografi cair (HPLC) serta X-ray fluorescence profiling guna mengetahui kandungan gula, protein, antioksidan, dan mineral dalam tanaman.
Hasilnya menunjukkan bahwa kombinasi tekanan panas dan peningkatan karbon dioksida menyebabkan tanaman tumbuh lebih kecil dan lebih lambat, serta memiliki kandungan nutrisi yang lebih rendah dibandingkan tanaman yang tumbuh di kondisi iklim stabil.
Penurunan kandungan nutrisi akibat stres iklim tidak merata pada semua jenis tanaman, responsnya bervariasi tergantung spesies. Namun, secara umum, ini menjadi sinyal serius terhadap potensi krisis gizi global, terutama bagi masyarakat yang sudah rentan terhadap kekurangan nutrisi.
“Dengan mempelajari interaksi-interaksi ini, kini kami dapat lebih baik memprediksi bagaimana perubahan iklim membentuk lanskap nutrisi di rantai makanan kita dan berupaya memitigasi dampaknya,” ujar Ekele.
Ia menyebut, di tengah ancaman ini, adaptasi sistem pertanian dan pangan terhadap iklim ekstrem menjadi prioritas. Tidak cukup hanya meningkatkan produksi pangan, tapi juga memastikan kandungan gizinya tetap terjaga agar generasi mendatang tidak menghadapi krisis gizi tersembunyi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.