Benarkah Thrifting jadi Solusi Fesyen Berkelanjutan?

JAKARTA, sustainlifetoday.com – Industri fesyen merupakan salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia. Menurut United Nations Environment Programme (2018), industri fesyen menjadi salah satu penyumbang terbesar limbah tekstil global dengan produksi sekitar 92 juta ton setiap tahunnya, yang berdampak signifikan pada polusi global.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat bahwa timbunan limbah tekstil di Indonesia mencapai 2,3 juta ton per tahun, dengan potensi peningkatan 70 persen apabila tidak dilakukan intervensi.
Dengan meningkatnya kesadaran akan dampak lingkungan dari fast fashion, praktik membeli pakaian bekas atau thrifting mulai dianggap sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan. Di Indonesia, thrifting berkembang di Bandung sekitar tahun 1990-2000, dengan pakaian-pakaian bekas dipasarkan di berbagai tempat seperti Pasar Baru, Cibadak, Kebon Kelapa, Tegallega, hingga Pasar Gedebage.
Awalnya, thrifting dianggap sebagai praktik berkelanjutan yang bertujuan untuk mengurangi limbah tekstil, memberikan pakaian second-hand, dan mendukung ekonomi sirkular. Namun, pada kenyataannya, thrifting sering kali dijadikan sebagai ajang konsumtif, menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap konsep keberlanjutan masih terbatas.
Pergeseran thrifting dari solusi berkelanjutan menjadi tren konsumtif menggambarkan pola pikir masyarakat yang belum sepenuhnya memahami konsep keberlanjutan. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan kolaborasi antara konsumen, pemerintah, dan pelaku industri. Regulasi yang kuat, konsumen yang sadar, dan industri yang bertanggung jawab adalah kunci untuk mencapai tujuan keberlanjutan.
Regulasi mengenai impor pakaian bekas telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014, yang melarang impor barang bekas dengan tujuan melindungi industri dalam negeri dan kesehatan masyarakat.
Dari sisi konsumen, perubahan cara berpikir sangat penting. Konsumsi bijaksana, atau mindful consumption, harus menjadi landasan utama dalam menjalankan praktik thrifting. Hal ini berarti konsumen tidak semata-mata membeli karena mengikuti tren atau tergiur harga murah, melainkan benar-benar memahami kebutuhan.
Kesadaran ini dapat dimulai dengan mengurangi perilaku impulsif saat berbelanja dan lebih fokus pada kualitas daripada kuantitas. Thrifting hanya akan memberikan dampak positif jika dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab. Diperlukan kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan konsumen untuk membangun ekosistem fesyen yang benar-benar mendukung keberlanjutan.
Fesyen berkelanjutan lebih dari sekadar mengurangi limbah atau membeli pakaian bekas. Realisasi terhadap fesyen berkelanjutan mencakup perubahan sistemik di seluruh industri, mulai dari cara pakaian diproduksi, dipromosikan, hingga digunakan. Dalam hal ini, thrifting memiliki peran penting dalam mengubah pola konsumsi. Dengan membeli pakaian bekas, konsumen tidak hanya menghemat uang, tetapi juga mendukung ekonomi sirkular yang menekankan penggunaan kembali barang.
Hal tersebut sejalan dengan prinsip dasar fesyen berkelanjutan yang berfokus pada pengurangan dampak lingkungan tanpa mengorbankan kualitas. Untuk mewujudkan konsep ini secara optimal, diperlukan perubahan pola pikir konsumen. Konsumen seharusnya tidak hanya mempertimbangkan harga atau merek, tetapi juga memperhatikan kualitas dan ketahanan barang yang dipilih.